IJARAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah : Fiqih Muamalah
Dosen pengampu : Sobirin ,M.Ag
Disusun oleh :
Nofitasari (212300)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARI’AH / MBS
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Era
globalisasi telah banyak mendominasi dunia islam pada saat ini, khususnya di
Indonesia. Budaya-budaya barat yang lepas dari konsep hukum syariat agama Islam
telah banyak berpengaruh dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat Islam. Dan
sering pula budaya-budaya barat yang telah dipraktekkan di dunia Islam pada hakekatnya jauh dari konsep fiqih islam yang
tujuannya adalah mengatur hukum-hukum islam.
Ijarah merupakan bentuk mu’amalah
yang sering kita dengar dengan sebutan sewa-menyewa, namun sejauh ini banyak
masyarakat pada umumnya tidak memahami secara benar dan rinci bagaimana mu’amalah
dalam konteks ijarah (sewa-menyewa) yang telah diatur oleh syariat Islam.
Akad ijarah (sewa-menyawa)
sudah banyak terpengaruh oleh peradaban barat yang tanpa memperhatikan mana
yang diuntungkan dan mana yang dirugikan, sehingga sering terjadi pertengkaran
dan perdebatan pada saat akad sewa-menyewa yang dikarenakan adanya keuntungan
sepihak.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
Latar Belakang Masalah yang telah dijelaskan, maka secara garis besar ada beberapa
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian Ijarah ?
2. Bagaimana hukum-hukum Ijarah menurut
agama islam ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pegertian
Ijarah
Sewa
menyewa dalam bahasa arab diistilahkan dengan Al-ijarah. Menurut pengertian
hukum islam, sewa menyewa diartikan sebagai suatu jenis akad untuk mengambil
manfaat dengan jalan penggantian.[1]
Dari pengertian di atas
dapat dilihat bahwa yang dimaksud dengan sewa menyewa adalah pengambilan
manfaat sesuatu benda. Jadi, dalam hal ini bendanya sama sekali tidak
berkurang. Dengan perkataan lain terjadinya sewa menyewa yang berpindah
hanyalah manfaat dari benda yang disewakan tersebut.
Di dalam istilah hukum islam, orang yang
menyewakan disebut mu’ajir. Sedangkan
orang yang menyewa disebut mu’tajir.
Benda yang disewakan diistilahkan dengan ma’jur,
dan uang sewa atau imbalan atas pemakaiaan manfaat barang disebut ajrah atau ujrah.
Sewa menyewa sebagaimana
perjanjian lainnya, merupakan perjanjian yang bersifat konsensual
(kesepakatan). Perjanjian itu mempunyai kekuatan hukum, yaitu pada saat sewa
menyewa berlangsung. Apabila akad sudah berlangsung, pihak yang menyewakan
(mu’ajir) wajib menyerahkan barang (ma’jur) kepada penyewa (musta’jir). Dengan
diserahkannya manfaat barang / benda maka penyewa wajib pula menyerahkan uang
sewanya (ujrah).
Al-Ijarah terambil dari
kata al-Ajr yang artinya adalah pengganti atau upah. Allah berfirman :
أَجْرًا عَلَيْهِ لَاتَّخَذْتَ شِئْتَ لَو
Artinya :“… jika kamu mau, niscaya kamu
mengambil upah untuk itu… “
(Qs. Al-Kahfi 18 : 77 )[2]
Definisi ijarah dalam
syara’ adalah akad atas manfaat yang dibolehkan, yang berasal dari benda
tertentu atau yang disebutkan ciri–cirinya, dalam jangka waktu yang diketahui,
atau akad atas pekerjaan yang diketahui, dengan bayaran yang diketahui.
B. Syarat
Rukun Ijarah
a.
Syarat-syarat ijarah adalah[3] :
1.
Yang menyewakan dan yang
menyewa sudah baligh, berakal sehat dan sama-sama ridla
2.
Barang yang disewakan itu
mempunyai faedah yang berharga, faedahnya dapat dinikmati oleh orang yang
menyewa dan kadarnya jelas, misalnya : Rumah disewa 1 tahun, Taksi disewa dari
Yogyakarta sampai solo 1 hari, atau seorang pekerja disewa untuk membuat pintu
besi ukuran sekian meter
3. Harga
sewanya dan keadaannya jelas, misalnya: Rumah Rp. 100.000,- sebulan, dibayar
tunai atau angsuran
4. Yang
menyewakan adalah pemilik barang sewa, walinya/orang yang menerima wasiat
(washiy) untuk bertindak sebagai wali
5. Ada
kerelaan kedua belah pihak yang menyewakan dan penyewa yang disahkan dengan
adanya ijab Kabul
6. Yang
disewakan ditentukan barang atau sifat-sifatnya
7. Manfaat
yang dimaksud bukan hal yang dilarang syara’
8. Berapa
lama waktu menikmati manfaat barang sewa harus jelas
9. Harga
sewa yang harus dibayar, bila berupa uang ditentukan berapa besarnya
10. Tidak
mengambil manfaat bagi diri orang yang disewa, tidak menyewakan diri untuk
perbuatan ketaatan sebab manfaat dari ketaatan tersebut adalah untuk dirinya
b. Rukun-rukun
ijarah :
1. Mu’jir
dan mu’tajir yaitu orang yang melakukan akad sewa menyewa atau upah mengupah
dalam hal upah mengupah. Mu’ajir adalah orang yang memberi upah untuk melakukan
sesuatu , sedangkan Mu’tajir adalah orang yang menyewa sesuatu. Disyaratkan
kepada mu’jir dan mu’tajir adalah orang yang baliqh,berakal,cakap melakukan
tasharrup (mengendalikan harta), dan saling meridhoi[4]
2.
Ujrah ( upah / harga sewa
), disyratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik dalam sewa
menyewa barang yang disewakan ataupun upah mengupah sesuatu yang dikerjakan.
c.
Tujuan ijarah :
Adapun tujuan sewa menyewa
(ijarah) adalah untuk mengambil manfaat dari apa yang disewa tersebut dengan
maksud tertentu dan mubah setelah disewa maka akan memberi pengganti kepada
yang menyewakan[5]
C. Macam-macam
sewa-menyewa
1.
Sewa barang
a.
Sewa menyewa rumah
Sewa
menyewa tanah dalam hukum perjanjian islam dapat dibenarkan baik tanah untuk
pertanian atau untuk pertapakan bangunan atau kepentingan lainnya.
Hal-
hal yang harus diperhatikan dalam hal perjanjian sewa menyewa tanah antara lain
sebagai berikut, “untuk apakah tanah tersebut digunankan ?” apabila tanah
digunakan untuk lahan pertanian, maka harus diterapkan dalam perjanjian jenis
apakah tanaman yang harus ditanam ditanah tersebut. Sebab jenis tanaman yang
ditanam akan berpengaruh pula terhadap jumlah uang sewanya.
Keanekaragaman
tanaman dapat juga dilakukan asal orang yang menyewakan / pemilik mengizinkan
tanahnya ditanami apa saja yang dikehendaki penyewa, namun lazimnya bukan jenis
tanaman tua / keras.
Apabila dalam sewa menyewa tanah tidak dijelaskan kegunaan tanah, maka sewa menyewa yang diadakan dinyatakan batal (fasid). Sebab kegunaan tanah perjanjian, dikhawatirkan akan melahirkan persepsi yang berbeda antara pemilik tanah dengan penyewa dan pada akhirnya akan menimbulkan persengketaan.
Apabila dalam sewa menyewa tanah tidak dijelaskan kegunaan tanah, maka sewa menyewa yang diadakan dinyatakan batal (fasid). Sebab kegunaan tanah perjanjian, dikhawatirkan akan melahirkan persepsi yang berbeda antara pemilik tanah dengan penyewa dan pada akhirnya akan menimbulkan persengketaan.
b.
Sewa menyewa binatang
1.
Malik membolehkan seseoarang menyewakan pejantannya untuk mengawini
sekawanan unta yang telah diketahui.
2.
Abu Hanifah dan Syafi’i tidak membolehkan hal tersebut.
Dan hujjah ulama yang tidak membolehkan hal tersebut adalah adanya larangan dari menyewakan pejantan. Sedangkan ulama yang membolehkan menyamakannya dengan manfaat-manfaat yang lain, dan hal ini adalah lemah karena mendahulukan qiyas atas nash yang baku.
Sedangkan menyewakan anjing juga termasuk dalam kategori ini, dan hal tersebut tidak boleh menurut Syafi’I dan Malik.
Dan hujjah ulama yang tidak membolehkan hal tersebut adalah adanya larangan dari menyewakan pejantan. Sedangkan ulama yang membolehkan menyamakannya dengan manfaat-manfaat yang lain, dan hal ini adalah lemah karena mendahulukan qiyas atas nash yang baku.
Sedangkan menyewakan anjing juga termasuk dalam kategori ini, dan hal tersebut tidak boleh menurut Syafi’I dan Malik.
Syafi’i dalam membolehkan penyewaan manfaat mensyaratkan
bahwa manfaat tersebut memiliki harga tersendiri sehingga tidak boleh menyewa
buah untuk dicium, serta makanan untuk menghiasi toko, karena manfaat-manfaat
ini secara tersendiri tidak memiliki nilai. Maka hal tersebut menurut Malik dan
Syafi’I tidak dibolehkan.
D. Keuntungan dan kerugian adanya sewa
menyewa (ijarah)
a. Keuntungan adanya sewa menyewa :
1.
Adanya sewa-menyewa bisa
membantu orang mengambil manfaat dari yang disewakan tersebut.
2.
Membantu orang yang tidak
mampu membeli barang, jadi dengan adanya sewa ini orang tersebut bisa menyewa
barang itu.
3.
Penyewa tidak dibebani
biaya-biaya yang diperlukan kepada pemiliknya untuk menyerahkan barang jika
barang tersebut rusak.
b.
Kerugian dalam sewa menyewa
:
1.
Bila barang rusak maka yang
menanggung resiko adalah pemilik barang
2.
Resiko yang ditanggung tak
sebanding dengan harga sewa.
3.
Ajir musytarok terikat pada
waktu yang telah dijanjikan namun bila waktu tersebut tidak dipenuhi maka
penyewa mengalami kerugian.
E.
Upah Kerja dalam Sewa
Menyewa
a. Hak
menerima upah bagi mu’tajir adalah ketika pekerjaan selesai dikerjakan,
beralasan kepada hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah, Rasulullah SAW bersabda:
أعطواالأجيرأجرهقبلانيجفعرقه
“Berikanlah upah sebelum
keringat pekerja itu kering”.
b. Jika
menyewa barang, uang sewaan dibayar ketika akad sewa, kecuali bila dalam akad
ditentukan lain, manfaat barang yang diijarahkan mengalir selama penyewaan
berlangsung.
F.
Batalnya sewa menyewa
(ijarah) :
Batalnya sewa menyewa karena :
1.
Telah habis masanya
2.
Barang / sesuatu yang
disewa rusak sendiri, misalnya rumah roboh sebelum masa sewa habis, tukang
pembuat pintu mogok untuk menyelesaikan pekerjaannya
3.
Barang yang disewakan bukan
hak pemberi sewa yang sah
4.
Terjadinya cacat pada
barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa
5.
Rusaknya barang yang
diupahkan (ma’jur ‘alaih), seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan
6.
Terpenuhinya manfaat yang
diakadkan, Yang dimaksud dalam hal ini adalah tujuan perjanjian sewa menyewa
telah tercapai, atau masa perjanjian sewa menyewa telah berakhir sesuai dengan
ketentuan yang disepakati.
7.
Adanya uzur (adanya suatu
halangan sehingga perjanjian tidak mungkin dapat terlaksana sebagaimana
mestinya).
G. Hikmah
sewa menyewa
Hikmah
dalam persewaan adalah untuk mencegah terjadinya permusuhan dan perselisihan
tidak boleh menyewakan suatu barang yang tidak ada kejelasan manfaatnya yaitu
sebatas perkiraan dan terkaan belaka dan
barangkali tanpa diduga barang tersebut tidak dapat memberikan faedah
apap
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sewa
menyewa dalam bahasa arab diistilahkan dengan Al-ijarah. Menurut pengertian
hukum islam, sewa menyewa diartikan sebagai suatu jenis akad untuk mengambil
manfaat dengan jalan penggantian.
Syarat-syarat ijarah adalah :
1. Yang
menyewakan dan yang menyewa sudah baligh, berakal sehat
2. Barang
yang disewakan itu mempunyai faedah yang berharga
3. Harga
sewanya dan keadaannya jelas
4. Yang
menyewakan adalah pemilik barang sewa
5. Ada
kerelaan kedua belah pihak
Rukun-rukun
ijarah :
1.Mu’jir
dan mu’tajir
2. Ujrah
( upah / harga sewa ),
Tujuan ijarah adalah untuk
mengambil manfaat dari apa yang disewa tersebut dengan maksud tertentu dan
mubah setelah disewa maka akan memberi pengganti kepada yang menyewakan
Macam-macam
sewa-menyewa :
1.
Sewa barang
2.
Sewa menyewa binatang
3.
Menyewa Pekerja Dengan Upah
Harian, Bulanan, Tahunan Atau Berdasarkan Jumlah Yang Dikerjakan
Hikmah dalam persewaan
adalah untuk mencegah terjadinya permusuhan dan perselisihan tidak boleh
menyewakan suatu barang yang tidak ada kejelasan manfaatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Sabiq,
Sayyid, Fiqh al-sunnah, Jilid III (Beirut: Dar al-Fikr, 1983)
Hendi
suhendi, Fiqih muamalah. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002
Wahbah
al Zuhayly, Al Fiqh al Islami Wa’adillatuhu, Daar al Fikri, Damsyik, 1989
0 komentar:
Post a Comment