Blog yang diperuntukan untuk anak kuliah, terutama Mahasiswa Manajemen dan Ekonomi Syariah

Friday, 27 May 2016

Posted by Dian Prasetyo in | 09:02:00 No comments
MAKALAH
HIBAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah  : Masail Fiqyah




 Disusun Oleh :
Dian Prasetya                          1320310118   
Irwan Setyo Susanto               1320310137


     
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN MANAJEMEN BISNIS SYARIAH
TAHUN AKADEMIK 2015/2016






BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Salah satu anjuran agama Islam adalah tolong menolong antara sesama muslim ataupun nonmuslim. Bentuk tolong menolong itu bermacam-macam, bisa berupa benda, jasa, jual beli, dan lain sebagainya. Salah satu diantaranya adalah hibah.
Hibah ini memiliki fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat baik yang diberikan perseorangan maupun lembaga, cukup banyak riwayat yang masyarakat bahwa Nabi Muhammad SAW. Beserta para sahabatnya memberi atau menerima sesuatu dalam bentuk hibah.
Dalam makalah itu akan dibahas mengenai apa saja yang berkenaan dengan hibah.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka rumusan masalah yang akan menjadi pokok bahaaan yaitu:
1.      Apa Pengertian Hibah ?
2.      Apa Macam-macam Hibah ?
3.      Apa Rukun Hibah ?
4.      Apa Syarat-syarat Hibah ?
5.      Bagaimana Studi Kasus Masalah Akad dan Penyelesaiannya ?








BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Hibah
Secara bahasa hibah adalah pemberian (athiyah), sedangkan menurut istilah hibah yaitu
عقد يفيد التمليك بلا عوض حا ل الالحياة تطوعا
“akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela.[1]
Didalam syara” sendiri menyebutkan hibah mempunyai arti akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu dia hidup, tanpa adanya imbalan. Apabila seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak diberikan kepadanya hak kepemilikan maka harta tersebut disebuti’aarah (pinjaman).[2]

B.     Syarat-syarat Hibah
1.      Sesuatu yang dihibahkan ialah boleh diperjual belikan
2.      Yang menghibahkan sudah baligh, berakal, tidak terlarang mempergunakan hartanya dan yang dihibbahkan miliknya sendiri
3.      Orang yang menerima hibbah dengan syarat berhak memiliki sesuatu yang dihibahkan. Tidak sah hibbah kepada bayi yang dalam kandungan, karena ia tidak dapat meiliki.
4.      Syarat ucapan (shighat) ijab qabul dalam hal jual beli
Hibah itu dianggap dapat menjadi milik yang diberi, dengan syarat, setelah benda atau barang itu diterima oleh yang dibernya. Kalau orang yang diberi hibbah itu telah menerima pemberian itu, maka tiada hak lagi bagi orang yang memberi mencabut kembali, kecuali oleh ayah kepada anaknya.
Jika hibbah itu dibatasi untuk dipakainya seumur hidup, atau disyaratkan harus kembali kepeda pemiliknya jika ternyata ia lebih dahulu meninggal, maka benda itu tetap jatuh menjadi milik yang dijanjikan itu, yakni orang yang diberi hibbah, serta ahli warisnya dikemudian hari.[3]
Terdapat dua hal yang hendak dicapai oleh hibah yakni, Pertama, dengan beri memberi akan menimbulkan suasana akrab dan kasih sayang antara sesama manusia.  Sedangkan mempererat hubungan silaturrahmi itu termasuk ajaran dasar agama Islam. Kedua, yang dituju oleh anjuran hibah adalah terbentuknya kerjasam dalam berbuat baik, baik dalam menanggulangi kesulitan saudaranya, maupun dalam membangun lembaga-lembaga sosial.[4]

C.    Rukun Hibah
Suatu hibah terjadi apabila memenuhi rukun sebagai berikut :
1.      Adanya pemberi hibah (al-wahib), yaitu pemilik sah barang yang dihibahkan. Ketika penyerahan barang, pemberi hibah dalam keadaan sudah dewasa, sehat jasmani dan rohani, serta tidak karena terpaksa. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 210 ayat 1, pemberi hibah adalah orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat, dan tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi. Dan apabila hibah diberikan dan si pemberi hibah dalam keadaan sakit dan dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya.
2.      Adanya penerima hibah (Al-Mauhublahu), yaitu setiap orang, baik perorangan atau badan hukum. Tidak sah suatu hibah, jika penerima hibah adalah anak yang masih dalam kandungan.
3.      Terjadi ijab qabul, yaitu serah terima antara pemberi dan penerima.
4.      Adanya barang yang dihibahkan, yang terdiri dari segala macam barang, baik yang bergerak atau tidak bergerak; bahkan manfaat atau hasil suatu barang. Dalam kompilasi hukum Islam pasal 210 ayat 2 disebutkan bahwa harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah.

D.    Pencabutan Hibah
Pada dasarnya, hibah tidak dapat dicabut kembali karena merupakan pemberian yang telah diterima oleh yang diberi hibah. Dalam hal in, ulama’ fiqh sepakat atas pelarangan tersebut.
Beberapa ulama mazhab memberikan acuan tentang seorangayah yang mencabut kembali hibahnyadari anaknya. Imam Malik dan sebagian besar ulama mazhab berpendapat bahwa ayah boleh mencabut kembali hibahnya kepada anaknya selama anak tersebut belum kawin, atau belum terkait perjanjian dengan orang lain atas nama anak tersebut.begitu juga seorang ibu boleh mencabut kembali hibah kepada anaknya, selama ayahnya masih hidup. Imam ahmad dan fuqaha zhahiri berpendapat bahwa seseorang tidak boleh mencabut kembali apa yang telah dihibahkannya secara mutlak apakah anak tersebut sudah kawinatau belum terikat perjanjian pada orang lain.[5]
Suatu penghibahan tidak dapat dicabut dan karena itu tidak dapat pula dibatalkan, kecuali dalam hal-hal berikut:
1.      Jika syarat-syarat penghibahan itu tidak dipenuhi oleh penerima hibah Dalam hal yang ini barang yang dihibahkan tetap tinggal pada penghibah, atau ia boleh meminta kembali barang itu, bebas dari semua beban dan hipotek yang mungkin diletakkan atas barang itu oleh penerima hibah serta hasil dan buah yang telah dinikmati oleh penerima hibah sejak ia alpa dalam memenuhi syarat-syarat penghibahan itu. Dalam hal demikian penghibah boleh menjalankan hak-haknya terhadap pihak ketiga yang memegang barang tak bergerak yang telah dihibahkan sebagaimana terhadap penerima hibah sendiri.
2.      Jika orang yang diberi hibah bersalah dengan melakukan atau ikut melakukan suatu usaha pembunuhan atau suatu kejahatan lain atas diri penghibah. Dalam hal ini barang yang telah dihibahkan tidak boleh diganggu gugat jika barang itu hendak atau telah dipindahtangankan, dihipotekkan atau dibebani dengan hak kebendaan lain oleh penerima hibah, kecuali kalau gugatan untuk membatalkan penghibahan itu susah diajukan kepada dan didaftarkan di Pengadilan dan dimasukkan dalam pengumuman tersebut dalam Pasal 616 KUHPerdata. Semua pemindahtanganan, penghipotekan atau pembebanan lain yang dilakukan oleh penerima hibah sesudah pendaftaran tersebut adalah batal, bila gugatan itu kemudian dimenangkan.
3.      Jika penghibah jatuh miskin sedang yang diberi hibah menolak untuk memberi nafkah kepadanya. Dalam hal ini barang yang telah diserahkan kepada penghibah akan tetapi penerima hibah tidak memberikan nafkah, sehingga hibah yang telah diberikan dapat dicabut atau ditarik kembali karena tidak dilakukannya pemberian nafkah.

E.     Studi Kasus Masalah Akad Hibah dan Penyelesaiannya
1.      al-umra dan al-ruqba
Al-umra di ambil dari kata ‘umr,  yakni jika pemberi hibah berkata kepada penerima hibah, “Saya membangun rumah ini untukmu,” “Saya membuat rumah ini untuk kamu sepanjang usia saya,” “Seumur hidup kamu, “Sepanjang hayat kamu,” atau “Sepanjang hayatku, jika kamu meninggal, rumah ini aku warisi. Shighat-shighat di atas adalah shighat akad hibah. Akan tetapi, shighat tersebut diikat dengan waktu, yakni umur orang yang memberi hibah atau umur orang yang menerimanya. Sementara itu, salah satu syarat shighat hibah adalah tidak diikat dengan waktu. Meskipun demikian, ulama Mazhab Hanafiah dan Syafi’iah menyepakati sahnya akad hibah tersebut, tetapi syarat yang ditetapkan batal. Ketentuan ini didasarkan pada hadis-hadis shahih Rasulullah Saw., diantaranya hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim. Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi Saw., beliau bersabda, “Al-Umra dibolehkan.” Keduanya juga meriwayatkan dari Jabir ra., ia berkata, “Nabi Saw. melakukan hibah al-umri bagi orang yang menerima hibahnya. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Muslim, Rasulullah Saw. bersabda, “Al-Umri bagi orang yang menerima hibah.” Selain itu, Imam Muslim juga meriwayatkan sebuah hadis dari Jabir ra., ia berkata, “Rasulullah Saw. bersabda, “Tahanlah harta-harta kalian dan jangan merusaknya. Siapa yang memberikan umra maka harta tersebut menjadi milik orang yang diberi, baik ketika masih hidup, ketika sudah meninggal dan bagi keturunannya.[6]
Imam Nawawi berkata dalah Syarh Shahih Muslim. Hadis ini memberitahukan bahwa al-umra adalah hibah yang sah. orang yang menerima hibah tersebut berhak penuh atas harta yang dihibahkan. Harta itu tidak akan kembali kepada orang yang menghibahkan selamanya. Jika mereka mengetahui hal tersebut, siapa yang ingin melakukannya, ia boleh hibah dengan umra. Siapa yang ingin, boleh meninggalkannya. Sebelumnya, mereka membayangkan bahwa hibah umra sama dengan ariyah dan harta yang dihibahkan akan kembali padanya.
Sedangkan Al-ruqba adalah hibah yang terjadi jika pemberi hibah berkata, “Rumahku ini untukmu selama masa pengawasanku,” “Aku memintamu menjaga rumah ini,” atau “Aku membuat rumah ini untukmu dalam pengawasanku.” Maksudnya, kalau kamu meninggal sebelum saya, rumah ini kembali menjadi milik saya. Jika saya meninggal sebelum kamu, rumah ini tetap menjadi milikmu.” Istilah ini diambil dari kata al-taraqqub yang berarti menunggu. Artinya, masing-masing menunggu kematian kawannya. Shighat ini merupakan salah satu shighat hibah yang diakui syariat meskipun diikat dengan sebuah syarat.
Menurut ulama Mazhab Syafi’iah, ini adalah akad hibah yang sah, namun syaratnya batal. Hal demikian disebabkan adanya hadis yang menunjukkan keabsahannya dan kebatalan syaratnya, sama dengan al-umra. Jabir ra. meriwayatkan sebuah hadis dari Rasulullah Saw., beliau bersabda, “Hibah al-umra dibolehkan bagi orang yang melakukannya, begitu juga hibah al-ruqba dibolehkan bagi yang melakukannya.” Maksudnya adalah yang berlaku dan yang sudah terjadi. Ini merupakan pengecualian dari kebatalan hibah yang terikat dengan syarat sebagaimana kita ketahui.
Imam Al-Subki dalam kitab Mughni Al-Muhtaj menjelaskan tentang sahnya hibah al-umra dan al-ruqba jauh dari qiyas. Ulama Mazhab Syafi’iah sepakat dengan Abu Yusuf dari Mazhab Hanafiah dalam menganggap hibah al-ruqba sebagai akad hibah yang sah. sementara itu, Abu Hanifah sendiri dan Muhammad berpendapat bahwa hibah tersebut hukumnya batal karena menyertakan syarat tertentu dengan ijab yang menghalangi kepemilikan saat itu juga. Hal itu menjadi penentu terjadi atau tidaknya akad. Menurut mereka, hal demikian menghalangi sahnya hibah.
Hal ini berbeda dengan hibah al-umra karena pemanfaatan harta di sana tidak menghalangi penyerahan kepemilikan barang pada saat transaksi. Oleh karena itu hibahnya sah, tetapi syarat penentuan waktunya batal. Argument kedua didasarkan pada hadis riwayat Al-Syu’bi dari Syuraih bahwa Rasulullah Saw. membolehkan hibah al-umra dan membatalkan hibah al-ruqba. Imam Al-Kasani berkata, “Kedua hibah tersebut tidak dapat ditolak (sahnya).” Keduanya berkata, “Jika pemberi hibah menyerahkan hibahnya kepada penerima yang memiliki pinjaman, kapan pun ia bisa memintanya kembali. Hanya saja, akad pinjam-meminjam di sini menjadi sah karena pemberi hibah menyerahkan hibahnya kepada penerima dan membebaskannya untuk memanfaatkannya. Ini termasuk kategori ariyah (pinjaman).[7]
2.      Pemberian dalam khitbah
Masalah khitbah (dalam bahasa Indonesia dikenal dengan pinangan dan tunangan), adalah materi pembahasan yang termasuk dalam Fiqh Munakahat, tetapi dalam pelaksanaan khitbah di masyarakat di Indonesia terdapat pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak wanita. Maka persoalan ini sesungguhnya dibahas dalam masalah hibah yang merupakan bagian dari pembahasan Fiqih Muamalah.[8]
Tunangan biasanya datang dari pihak laki-laki kepada pihak wanita untuk diminta menjadi calon istri. Bila lamaran ini diterima oleh pihak wanita, maka biasanya pihak wanita diberi cincin atau yang semisal sebagai tanda bahwa lamarannya diterima. Kiranya tidak menjadi permasalahan, apabila rencana perkawinan berjalan lancar, tetapi yang jadi masalah adalah jika rencana perkawinan itu dibatalkan. Apakah tanda pengikat (cincin tunangan) yang telah diterima oleh pihak wanita itu wajib dikembalikan atau tidak? Mengenai masalah ini, para ulama berbeda pendapat, Mazhab Syafi’I, Maliki dan Hambali mempunyai pandangan yang berbeda tentang permasalahan di atas.
Menurut Mazhab Syafi’I, benda-benda tunangan yang telah diterima pihak wanita sebagai pemberian pihak pria adalah hadiah, karenanya wajib untuk dikembalikan, baik benda-benda tersebut masih utuh ataupun sudah rusak. Bila benda tunangan itu sudah rusak atau hilang, maka pihak wanita wajib menggantikannya dengan benda yang serupa atau membayar dengan uang yang seharga bagi benda tunangan tersebut. Kewajiban pengembalian benda tunangan ini berlaku apabila terjadi pembatalan perkawinan, baik atas permintaan pihak laki-laki maupun pihak wanita. Menurt Mazhab Hanafi, benda-benda yang telah diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak pinangannya dapat diminta kembali apabila benda-benda itu masih utuh, misalnya gelang, kalung, cincin, jam dan sebagainya. Apabila benda-benda itu sudah berkurang atau bertambah, seperti kain yang sudah dijadikan baju, jam dan cincin yang sudah dijual, maka pihak laki-laki tidak berhak meminta kembali dan tidak boleh meminta ganti rugi atas hilangnya barang-barang yang telah dia berikan.
Mazhab Maliki berpendapat bahwa apabila pembatalan pihak wanita maka dia (pihak wanita) wajib mengembalikan benda-benda yang dia terima  dari pihak laki-laki. Bila benda itu masih utuh, maka yang harus dikembalikan adalah benda tersebut. Sedangkan jika benda itu sudah tidak ada, baik dijual, hilang atau karena yang lainnya, maka ia wajib menggantinya, baik dengan benda yang serupa maupun dengan uang yang senilai dengan benda tersebut. Apabila pembatalan datangnya dari pihak laki-laki, maka pemberian yang telah diterima oleh pihak wanita, tidak diperbolehkan untuk diminta kembali, baik barang itu masih utuh, berubah maupun hilang. Dalam riwayat lain menurut Mazhab Maliki, apabila adat (kebiasaan) berbeda dengan ketentuan Malikiyah di atas, maka yang diberlakukan adalah adat atau kebiasaan.
Ketiga mazhab di atas berbeda karena perbedaan tolak ukur yang dipakai. Hanafi bertolak ukur pada keutuhan benda pemberina, Maliki bertolak ukur kepada pihak yang membatalkan dan adat, Syafi’I menggunakan kaidah umum bahwa pemberian itu sama dengan pemberian yang berimbalan, yakni boleh diminta kembali bila imbalannya belum sesuai dengan yang diharapkan. Adapun hadis yang dijadikan alasan adalah hadis riwayat Imam Ahmad dan ibnu Majah dari Ibnu Abbas ra.[9]







BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Berdasarkan pembahasan diatas maka penulis dapat menyimpulkan beberapa hal, yaitu :
1.      Hibah mempunyai arti akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu dia hidup, tanpa adanya imbalan.
2.      Syarat-syarat hibah yaitu: Sesuatu yang dihibahkan ialah boleh diperjual belikan, yang menghibahkan sudah baligh, berakal, tidak terlarang mempergunakan hartanya dan yang dihibbahkan miliknya sendiri, Orang yang menerima hibah dengan syarat berhak memiliki sesuatu yang dihibahkan dan adanya shigat (ucapan) ketika ijab qabul.
3.      Rukun hibah terdiri dari: adanya pemberi hibah (al-wahib), adanya penerima hibah (Al-Mauhublahu), terjadi ijab qabul, dan adanya barang yang dihibahkan.
4.       
B.     Penutup
Demikian makalah ini kami buat. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan dan pembahasan makalah ini kami mohon maaf. Kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan untuk lebih baiknya paper yang kami buat selanjutnya. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.




[1]Rachmat Syafei,  Fiqh Muamalah. Pustaka Setia, Bandung, 2001, hlm. 242
[2] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 14, terj: Mudzakir, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1987,  Hlm 174
[3] Moh. Rifai, Fiqih. CV Wicaksana, Semarang, 1984, hlm. 108
[4] Satria Effendi & M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Konteporer, Kencana Jakarta, 2004, hlm. 471
[5] Siah Khosyi’ah, Wakaf dan Hibah, CV Pustaka Setia, Bandung, 2010, hlm. 242-243.
[6] Musthafa Dib Al-Bugha, Buku Pintar Transaksi Syariah terj. Fiqh Al-Mu’awadhah, Mizan Media Utama, Bandung,  2010, hlm. 105
[7] Ibid, hlm. 106-107
[8] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlm. 216
[9] Ibid, hlm. 217-218

0 komentar:

Post a Comment

Search

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter