MAKALAH
HIBAH
Disusun Untuk
Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Masail
Fiqyah
Disusun Oleh :
Dian Prasetya 1320310118
Irwan Setyo Susanto 1320310137
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu anjuran agama Islam adalah tolong menolong
antara sesama muslim ataupun nonmuslim. Bentuk tolong menolong itu
bermacam-macam, bisa berupa benda, jasa, jual beli, dan lain sebagainya. Salah
satu diantaranya adalah hibah.
Hibah ini memiliki fungsi sosial dalam kehidupan
masyarakat baik yang diberikan perseorangan maupun lembaga, cukup banyak
riwayat yang masyarakat bahwa Nabi Muhammad SAW. Beserta para sahabatnya
memberi atau menerima sesuatu dalam bentuk hibah.
Dalam makalah itu akan dibahas mengenai apa saja yang
berkenaan dengan hibah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan
diatas, maka rumusan masalah yang akan menjadi pokok bahaaan yaitu:
1.
Apa Pengertian Hibah ?
2.
Apa Macam-macam Hibah ?
3.
Apa Rukun Hibah ?
4.
Apa Syarat-syarat Hibah ?
5.
Bagaimana Studi Kasus Masalah Akad dan Penyelesaiannya ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hibah
Secara bahasa hibah adalah pemberian (athiyah), sedangkan menurut istilah hibah yaitu
عقد يفيد التمليك بلا عوض حا ل الالحياة تطوعا
“akad
yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan
dilakukan secara sukarela.[1]
Didalam syara” sendiri menyebutkan hibah
mempunyai arti akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang
kepada orang lain diwaktu dia hidup, tanpa adanya imbalan. Apabila seseorang
memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak diberikan
kepadanya hak kepemilikan maka harta tersebut disebuti’aarah (pinjaman).[2]
B. Syarat-syarat Hibah
1. Sesuatu yang dihibahkan ialah boleh
diperjual belikan
2. Yang menghibahkan sudah baligh, berakal,
tidak terlarang mempergunakan hartanya dan yang dihibbahkan miliknya sendiri
3. Orang yang menerima hibbah dengan syarat
berhak memiliki sesuatu yang dihibahkan. Tidak sah hibbah kepada bayi yang
dalam kandungan, karena ia tidak dapat meiliki.
4. Syarat ucapan (shighat) ijab qabul dalam
hal jual beli
Hibah itu dianggap dapat menjadi milik yang
diberi, dengan syarat, setelah benda atau barang itu diterima oleh yang
dibernya. Kalau orang yang diberi hibbah itu telah menerima pemberian itu, maka
tiada hak lagi bagi orang yang memberi mencabut kembali, kecuali oleh ayah
kepada anaknya.
Jika hibbah itu dibatasi untuk dipakainya
seumur hidup, atau disyaratkan harus kembali kepeda pemiliknya jika ternyata ia
lebih dahulu meninggal, maka benda itu tetap jatuh menjadi milik yang
dijanjikan itu, yakni orang yang diberi hibbah, serta ahli warisnya dikemudian
hari.[3]
Terdapat dua hal yang hendak dicapai oleh
hibah yakni, Pertama, dengan beri memberi akan menimbulkan suasana akrab dan
kasih sayang antara sesama manusia.
Sedangkan mempererat hubungan silaturrahmi itu termasuk ajaran dasar
agama Islam. Kedua, yang dituju oleh anjuran hibah adalah terbentuknya kerjasam
dalam berbuat baik, baik dalam menanggulangi kesulitan saudaranya, maupun dalam
membangun lembaga-lembaga sosial.[4]
C.
Rukun Hibah
Suatu hibah terjadi
apabila memenuhi rukun sebagai berikut :
1.
Adanya pemberi hibah (al-wahib),
yaitu pemilik sah barang yang dihibahkan. Ketika penyerahan barang, pemberi
hibah dalam keadaan sudah dewasa, sehat jasmani dan rohani, serta tidak karena
terpaksa. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 210 ayat 1, pemberi hibah adalah
orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat, dan tanpa
adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada
orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi. Dan apabila hibah diberikan
dan si pemberi hibah dalam keadaan sakit dan dekat dengan kematian, maka harus
mendapat persetujuan dari ahli warisnya.
2.
Adanya penerima hibah (Al-Mauhublahu),
yaitu setiap orang, baik perorangan atau badan hukum. Tidak sah suatu hibah,
jika penerima hibah adalah anak yang masih dalam kandungan.
3.
Terjadi ijab qabul, yaitu
serah terima antara pemberi dan penerima.
4.
Adanya barang yang dihibahkan,
yang terdiri dari segala macam barang, baik yang bergerak atau tidak bergerak;
bahkan manfaat atau hasil suatu barang. Dalam kompilasi hukum Islam pasal 210 ayat 2
disebutkan bahwa harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari
penghibah.
D.
Pencabutan Hibah
Pada dasarnya, hibah tidak dapat dicabut kembali
karena merupakan pemberian yang telah diterima oleh yang diberi hibah. Dalam hal
in, ulama’ fiqh sepakat atas pelarangan tersebut.
Beberapa ulama mazhab memberikan acuan tentang
seorangayah yang mencabut kembali hibahnyadari anaknya. Imam Malik dan sebagian
besar ulama mazhab berpendapat bahwa ayah boleh mencabut kembali hibahnya
kepada anaknya selama anak tersebut belum kawin, atau belum terkait perjanjian
dengan orang lain atas nama anak tersebut.begitu juga seorang ibu boleh mencabut
kembali hibah kepada anaknya, selama ayahnya masih hidup. Imam ahmad dan fuqaha
zhahiri berpendapat bahwa seseorang tidak boleh mencabut kembali apa
yang telah dihibahkannya secara mutlak apakah anak tersebut sudah kawinatau
belum terikat perjanjian pada orang lain.[5]
Suatu penghibahan tidak dapat dicabut dan
karena itu tidak dapat pula dibatalkan, kecuali dalam hal-hal berikut:
1. Jika syarat-syarat penghibahan itu tidak
dipenuhi oleh penerima hibah Dalam hal yang ini barang yang dihibahkan tetap
tinggal pada penghibah, atau ia boleh meminta kembali barang itu, bebas dari
semua beban dan hipotek yang mungkin diletakkan atas barang itu oleh penerima
hibah serta hasil dan buah yang telah dinikmati oleh penerima hibah sejak ia
alpa dalam memenuhi syarat-syarat penghibahan itu. Dalam hal demikian penghibah
boleh menjalankan hak-haknya terhadap pihak ketiga yang memegang barang tak
bergerak yang telah dihibahkan sebagaimana terhadap penerima hibah sendiri.
2. Jika orang yang diberi hibah bersalah
dengan melakukan atau ikut melakukan suatu usaha pembunuhan atau suatu
kejahatan lain atas diri penghibah. Dalam hal ini barang yang telah dihibahkan
tidak boleh diganggu gugat jika barang itu hendak atau telah dipindahtangankan,
dihipotekkan atau dibebani dengan hak kebendaan lain oleh penerima hibah,
kecuali kalau gugatan untuk membatalkan penghibahan itu susah diajukan kepada
dan didaftarkan di Pengadilan dan dimasukkan dalam pengumuman tersebut dalam
Pasal 616 KUHPerdata. Semua pemindahtanganan, penghipotekan atau pembebanan
lain yang dilakukan oleh penerima hibah sesudah pendaftaran tersebut adalah
batal, bila gugatan itu kemudian dimenangkan.
3. Jika penghibah jatuh miskin sedang yang
diberi hibah menolak untuk memberi nafkah kepadanya. Dalam hal ini barang yang
telah diserahkan kepada penghibah akan tetapi penerima hibah tidak memberikan
nafkah, sehingga hibah yang telah diberikan dapat dicabut atau ditarik kembali
karena tidak dilakukannya pemberian nafkah.
E.
Studi Kasus
Masalah Akad Hibah dan Penyelesaiannya
1.
al-umra dan
al-ruqba
Al-umra di ambil dari kata ‘umr,
yakni jika pemberi hibah berkata kepada penerima hibah, “Saya membangun
rumah ini untukmu,” “Saya membuat rumah ini untuk kamu sepanjang usia saya,”
“Seumur hidup kamu, “Sepanjang hayat kamu,” atau “Sepanjang hayatku, jika kamu
meninggal, rumah ini aku warisi. Shighat-shighat di atas adalah shighat akad
hibah. Akan tetapi, shighat tersebut diikat dengan waktu, yakni umur orang yang
memberi hibah atau umur orang yang menerimanya. Sementara itu, salah satu
syarat shighat hibah adalah tidak diikat dengan waktu. Meskipun demikian, ulama
Mazhab Hanafiah dan Syafi’iah menyepakati sahnya akad hibah tersebut, tetapi
syarat yang ditetapkan batal. Ketentuan ini didasarkan pada hadis-hadis shahih
Rasulullah Saw., diantaranya hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim. Dari Abu
Hurairah ra. dari Nabi Saw., beliau bersabda, “Al-Umra dibolehkan.”
Keduanya juga meriwayatkan dari Jabir ra., ia berkata, “Nabi Saw. melakukan
hibah al-umri bagi orang yang menerima hibahnya. Dalam sebuah hadis riwayat
Imam Muslim, Rasulullah Saw. bersabda, “Al-Umri bagi orang yang menerima
hibah.” Selain itu, Imam Muslim juga meriwayatkan sebuah hadis dari Jabir ra.,
ia berkata, “Rasulullah Saw. bersabda, “Tahanlah harta-harta kalian dan jangan
merusaknya. Siapa yang memberikan umra maka harta tersebut menjadi milik orang
yang diberi, baik ketika masih hidup, ketika sudah meninggal dan bagi
keturunannya.[6]
Imam Nawawi
berkata dalah Syarh Shahih Muslim. Hadis ini memberitahukan bahwa al-umra
adalah hibah yang sah. orang yang menerima hibah tersebut berhak penuh atas
harta yang dihibahkan. Harta itu tidak akan kembali kepada orang yang
menghibahkan selamanya. Jika mereka mengetahui hal tersebut, siapa yang ingin
melakukannya, ia boleh hibah dengan umra. Siapa yang ingin, boleh
meninggalkannya. Sebelumnya, mereka membayangkan bahwa hibah umra sama dengan
ariyah dan harta yang dihibahkan akan kembali padanya.
Sedangkan Al-ruqba
adalah hibah yang terjadi jika pemberi hibah berkata, “Rumahku ini untukmu
selama masa pengawasanku,” “Aku memintamu menjaga rumah ini,” atau “Aku membuat
rumah ini untukmu dalam pengawasanku.” Maksudnya, kalau kamu meninggal sebelum
saya, rumah ini kembali menjadi milik saya. Jika saya meninggal sebelum kamu,
rumah ini tetap menjadi milikmu.” Istilah ini diambil dari kata al-taraqqub
yang berarti menunggu. Artinya, masing-masing menunggu kematian kawannya.
Shighat ini merupakan salah satu shighat hibah yang diakui syariat meskipun diikat
dengan sebuah syarat.
Menurut ulama
Mazhab Syafi’iah, ini adalah akad hibah yang sah, namun syaratnya batal. Hal
demikian disebabkan adanya hadis yang menunjukkan keabsahannya dan kebatalan
syaratnya, sama dengan al-umra. Jabir ra. meriwayatkan sebuah hadis dari
Rasulullah Saw., beliau bersabda, “Hibah al-umra dibolehkan bagi orang yang
melakukannya, begitu juga hibah al-ruqba dibolehkan bagi yang melakukannya.”
Maksudnya adalah yang berlaku dan yang sudah terjadi. Ini merupakan
pengecualian dari kebatalan hibah yang terikat dengan syarat sebagaimana kita
ketahui.
Imam Al-Subki
dalam kitab Mughni Al-Muhtaj menjelaskan tentang sahnya hibah al-umra dan
al-ruqba jauh dari qiyas. Ulama Mazhab Syafi’iah sepakat dengan Abu Yusuf dari
Mazhab Hanafiah dalam menganggap hibah al-ruqba sebagai akad hibah yang sah.
sementara itu, Abu Hanifah sendiri dan Muhammad berpendapat bahwa hibah
tersebut hukumnya batal karena menyertakan syarat tertentu dengan ijab yang
menghalangi kepemilikan saat itu juga. Hal itu menjadi penentu terjadi atau
tidaknya akad. Menurut mereka, hal demikian menghalangi sahnya hibah.
Hal ini berbeda
dengan hibah al-umra karena pemanfaatan harta di sana tidak menghalangi
penyerahan kepemilikan barang pada saat transaksi. Oleh karena itu hibahnya
sah, tetapi syarat penentuan waktunya batal. Argument kedua didasarkan pada
hadis riwayat Al-Syu’bi dari Syuraih bahwa Rasulullah Saw. membolehkan hibah
al-umra dan membatalkan hibah al-ruqba. Imam Al-Kasani berkata, “Kedua hibah
tersebut tidak dapat ditolak (sahnya).” Keduanya berkata, “Jika pemberi hibah
menyerahkan hibahnya kepada penerima yang memiliki pinjaman, kapan pun ia bisa
memintanya kembali. Hanya saja, akad pinjam-meminjam di sini menjadi sah karena
pemberi hibah menyerahkan hibahnya kepada penerima dan membebaskannya untuk
memanfaatkannya. Ini termasuk kategori ariyah (pinjaman).[7]
2.
Pemberian dalam
khitbah
Masalah khitbah
(dalam bahasa Indonesia dikenal dengan pinangan dan tunangan), adalah materi
pembahasan yang termasuk dalam Fiqh Munakahat, tetapi dalam pelaksanaan khitbah
di masyarakat di Indonesia terdapat pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak
wanita. Maka persoalan ini sesungguhnya dibahas dalam masalah hibah yang
merupakan bagian dari pembahasan Fiqih Muamalah.[8]
Tunangan
biasanya datang dari pihak laki-laki kepada pihak wanita untuk diminta menjadi
calon istri. Bila lamaran ini diterima oleh pihak wanita, maka biasanya pihak
wanita diberi cincin atau yang semisal sebagai tanda bahwa lamarannya diterima.
Kiranya tidak menjadi permasalahan, apabila rencana perkawinan berjalan lancar,
tetapi yang jadi masalah adalah jika rencana perkawinan itu dibatalkan. Apakah
tanda pengikat (cincin tunangan) yang telah diterima oleh pihak wanita itu
wajib dikembalikan atau tidak? Mengenai masalah ini, para ulama berbeda
pendapat, Mazhab Syafi’I, Maliki dan Hambali mempunyai pandangan yang berbeda tentang
permasalahan di atas.
Menurut Mazhab
Syafi’I, benda-benda tunangan yang telah diterima pihak wanita sebagai
pemberian pihak pria adalah hadiah, karenanya wajib untuk dikembalikan, baik
benda-benda tersebut masih utuh ataupun sudah rusak. Bila benda tunangan itu
sudah rusak atau hilang, maka pihak wanita wajib menggantikannya dengan benda
yang serupa atau membayar dengan uang yang seharga bagi benda tunangan
tersebut. Kewajiban pengembalian benda tunangan ini berlaku apabila terjadi
pembatalan perkawinan, baik atas permintaan pihak laki-laki maupun pihak
wanita. Menurt Mazhab Hanafi, benda-benda yang telah diberikan oleh pihak
laki-laki kepada pihak pinangannya dapat diminta kembali apabila benda-benda
itu masih utuh, misalnya gelang, kalung, cincin, jam dan sebagainya. Apabila
benda-benda itu sudah berkurang atau bertambah, seperti kain yang sudah
dijadikan baju, jam dan cincin yang sudah dijual, maka pihak laki-laki tidak
berhak meminta kembali dan tidak boleh meminta ganti rugi atas hilangnya
barang-barang yang telah dia berikan.
Mazhab Maliki
berpendapat bahwa apabila pembatalan pihak wanita maka dia (pihak wanita) wajib
mengembalikan benda-benda yang dia terima
dari pihak laki-laki. Bila benda itu masih utuh, maka yang harus
dikembalikan adalah benda tersebut. Sedangkan jika benda itu sudah tidak ada,
baik dijual, hilang atau karena yang lainnya, maka ia wajib menggantinya, baik
dengan benda yang serupa maupun dengan uang yang senilai dengan benda tersebut.
Apabila pembatalan datangnya dari pihak laki-laki, maka pemberian yang telah
diterima oleh pihak wanita, tidak diperbolehkan untuk diminta kembali, baik
barang itu masih utuh, berubah maupun hilang. Dalam riwayat lain menurut Mazhab
Maliki, apabila adat (kebiasaan) berbeda dengan ketentuan Malikiyah di atas,
maka yang diberlakukan adalah adat atau kebiasaan.
Ketiga mazhab
di atas berbeda karena perbedaan tolak ukur yang dipakai. Hanafi bertolak ukur
pada keutuhan benda pemberina, Maliki bertolak ukur kepada pihak yang
membatalkan dan adat, Syafi’I menggunakan kaidah umum bahwa pemberian itu sama
dengan pemberian yang berimbalan, yakni boleh diminta kembali bila imbalannya
belum sesuai dengan yang diharapkan. Adapun hadis yang dijadikan alasan adalah
hadis riwayat Imam Ahmad dan ibnu Majah dari Ibnu Abbas ra.[9]
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Berdasarkan
pembahasan diatas maka penulis dapat menyimpulkan beberapa hal, yaitu :
1.
Hibah mempunyai arti akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik
seseorang kepada orang lain diwaktu dia hidup, tanpa adanya imbalan.
2. Syarat-syarat hibah yaitu: Sesuatu yang
dihibahkan ialah boleh diperjual belikan, yang menghibahkan sudah baligh,
berakal, tidak terlarang mempergunakan hartanya dan yang dihibbahkan miliknya
sendiri, Orang yang menerima hibah dengan syarat berhak memiliki sesuatu yang
dihibahkan dan adanya shigat (ucapan) ketika ijab qabul.
3.
Rukun hibah terdiri dari: adanya pemberi hibah (al-wahib), adanya penerima
hibah (Al-Mauhublahu), terjadi ijab qabul, dan adanya barang yang
dihibahkan.
4.
B.
Penutup
Demikian
makalah ini kami buat. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan dan
pembahasan makalah ini kami mohon maaf. Kritik dan saran yang membangun sangat
kami butuhkan untuk lebih baiknya paper yang kami buat selanjutnya. Selamat
membaca dan semoga bermanfaat.
[1]Rachmat Syafei,
Fiqh Muamalah. Pustaka Setia, Bandung, 2001, hlm.
242
[4] Satria Effendi
& M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Konteporer, Kencana
Jakarta, 2004, hlm. 471
[6] Musthafa Dib
Al-Bugha, Buku Pintar Transaksi Syariah terj. Fiqh Al-Mu’awadhah, Mizan
Media Utama, Bandung, 2010, hlm. 105
0 komentar:
Post a Comment