PERINTAH
NIKAH
Disusun
guna memenuhi tugas
Mata
kuliah: Hadits
Dosen
pengampu: Suhadi, M. S. I.
Disusun
oleh:
Dian
Prasetyo 1320310118
Nur
Hamid 1320310119
Nurul Amala 1320310120
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN
SYARIAH/PRODI MANAJEMEN BISNIS SYARIAH
TAHUN
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Nikah
merupakan ikatan suami istri yang sah yang menimbulkan akibat hukum dan hak
serta kewajiban bagi suami istri. Hubungan antara seorang laki-laki dan wanita
merupakan tuntutan yang telah diciptakan oleh Allah dan untuk menghalalkan
hubungan ini maka disyariatkanlah akad nikah.
Pernikahan
adalah suatu jalan yang dipilih oleh Allah sebagai jalan bagi manusia untuk mendapatkan
keturunan. Karena Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk lain yang
hidup bebas mengikuti nalurinya. Allah membuat aturan hukum untuk menjaga
kehormatan dan martabat manusia dengan pernikahan.
Dalam
makalah ini, akan dijelaskan mengenai perintah menikah yang berdasarkan pada
hadits.
B. Rumusan
Masalah
- Perintah nikah
- Larangan hidup membujang
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Hadits
1
عَنِ عَبْدِ اللهِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ
قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: (يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ, مَنِ
اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اْلبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَاِنَّهُ اَغَضُّ لِلْبَصَرِ, وَ
اَحْصَنُ لِلْفَرْجِ, وَ مَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَاِنَّهُ
لَهُ وِجَاءٌ). مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Dari Abdullah bin Mas’ud dia berkata, bersabda Rasulullah SAW
kepada kami: “Wahai pemuda, barangsiapa diantara kalian yang telah mampu
menikah, maka menikahlah, karena menikah itu lebih menahan pandangan mata dan
lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa tidak mampu, maka hendaklah dia berpuasa,
karena puasa itu merupakan penawar syahwat baginya.” (HR. Bukhari-Muslim)[1]
a.
Kosa kata:
Lafadz
|
Arti
|
اسْتَطَاعَ
|
Telah mampu
|
فَلْيَتَزَوَّجْ
|
Maka menikahlah
|
اَغَضُلِلْبَصَر
|
Menahan pandangan mata
|
اَحْصَنُ
لِلْفَرْجِ
|
Menjaga kemaluan
|
وِجَاءٌ
|
Penawar syahwat
|
b.
Tahrij Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari (5066) dan Muslim
(2/1019/1020).
c.
Derajat Hadits
Hadits ini tergolong hadits shahih karena diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Imam Muslim. Beliau merupakan perawi yang telah memenuhi syarat
dari hadits shahih. Hadits shahih merupakan hadits yang sanadnya muttasil
(bersambung) kepada Nabi Muhammad SAW. Melalui rawi-rawi dengan karakteristik
moral yang baik (‘adl) dan tingkat kapasitas intelektualitas (dhobit). Tanpa
ada kejanggalan maupun kecacatan baik matan maupun sanadnya.
d.
Biografi Perawi
Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil al-Hudzali.
Nama julukannya “Abu Abdirahman”. Ia sahabat ke enam yang paling dahulu masuk
islam. Ia hijrah ke Habasyah dua kali, dan mengikut semua peperangan bersama
Rasulullah SAW. Dalam perang Badar, Ia berhasil membunuh Abu Jahal.
Ketikah menjadi Khalifah Umar mengangkatnya menjadi Hakim dan
Pengurus kas negara di kufah. Ia simbol bagi ketakwaan, kehati-hatian, dan
kesucian diri.
Beliau datang ke Medinah dan sakit disana kemudian wafat pada tahun
32 H dan dimakamkan di Baqi, Utsman bin ‘Affan ikut menshalatkannya.
e.
Kesimpulan
Hadits
Nikah merupakan perintah bagi yang terlah mampu untuk menikah. Sedangkan
bagi yang belum mampu hendaknya ia berpuasa untuk mengendalikan nafsunya.
B.
Hadits 2
عَنْ سَعْدِ بْنِ اَبِى وَقَّاصٍ رضي
الله عنه قَالَ: (رَدَّ رَسُوْلُ للهِ صلي الله عليه وسلم عَلَى عُثْمَانَ بْنِ
مَظْعُوْنٍ التَّبَتُّلَ وَ لَوْاَذِنَ لَهُ لاَخْتَصَيْنَا). مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Dari Sa’ad bin Waqash, r.a., dia berkata: “Rasulullah SAW menolak
Ustman bin Madz’un untuk hidup membujang (tabattul). Sekiranya beliau
mengijinkannya, tentulah kami telah mengebiri diri kami.” (HR. Bukhari-Muslim)[2]
a.
Kosa Kata
Lafadz
|
Arti
|
رَدَّ
|
Menolak
|
التَّبَتُّلَ
|
Hidup membujang
|
اَذِنَ
|
Mengijinkan
|
b.
Tahrij Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari Muslim (Kitab Nikah, Hadits
No. 299 dalam kitab Umdah al-Ahkam)
c.
Derajat Hadits
Hadits ini tergolong hadits shahih karena diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dan Imam Muslim. Beliau merupakan perawi yang telah memenuhi syarat dari hadits
shahih. Hadits shahih merupakan hadits yang sanadnya muttasil (bersambung)
kepada Nabi Muhammad SAW. Melalui rawi-rawi dengan karakteristik moral yang
baik (‘adl) dan tingkat kapasitas intelektualitas (dhobit). Tanpa ada
kejanggalan maupun kecacatan baik matan maupun sanadnya.
d.
Biografi Perawi
Nama lengkapnya adalah Sa’ad bin Abi Waqqash bin Uhaib Az-Zuhri
dengan julukan “Abu Ishaq”, Ia adalah salah seorang diantara sepuluh orang
sahabat yang mendapat kabar gembira bakal masuk surga, dan orang yang pertama
dalam melontarkan panah dalam perang Sabillillah, ia orang yang ke empat lebih
dulu masuk Islam melalui tangan Abu Bakar ketika umurnya 17 tahun.
Sa’ad bin Abi Waqqash mengikuti banyak peperangan bersama
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, dalam peperangan itu ia bergabung dalam
pasukan berkuda. Ia berasal dari bani Zuhrah seasal dengan ibu Nabi (Aminah).
Khilafah Umar bin Khaththab mengangkatnya menjadi komandan pasukan yang
dikirimkan untuk memerangi orang Persia dan berhasil mengalahkannya pada tahun
15 H di Qadisiyah. Setahun setelahnya 16 H di Julailak ia menaklukan Madain dan
Bani al-Kuffa pada tahun 17 H.
Sa’ad bin Abi Waqqash adalah penguasa Irak dimasa pemerintahan Umar bin
Khaththab yang berlanjut pada masa pemerintahan Utsman bi Affan. Ia adalah
seorang diantara enam sahabat orang yang dicalonkan menjadi Khalifah, sejak
bencana besar atas terbunuhnya Utsman. Ia
wafat pada tahun 55 H di Aqiq.
e.
Kesimpulan
Hadits
Larangan hidup membujang.[3]
C.
Penjelasan Umum
Nikah adalah akad yang menimbulkan kebolehan bergaul antara
laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan dan
menjadikan untuk kedua belah pihak secara timbal balik hak-hak dan
kewajiban-kewajiban.[4]
Dengan pernikahan seseorang dapat menjaga pandangannya dari hal-hal yang
terlarang dan dapat menyalurkan tuntutan biologisnya secara halal.
Maksud mampu (al-ba’ah) dalam hadits pertama adalah mampu
bersenggama.[5]
Di samping itu, nikah dapat berbeda hukumnya
jika dikaitkan dengan kondisi dan niat seseorang.[6] Namun,
bagi yang belum mampu hendaknya ia berpuasa. Puasa yang dilakukan dengan
sungguh-sungguh dan niat ikhlas mencari ridha Allah akan dapat mencegah akan
dorongan nafsu syahwat yang tidak baik.
Selain itu, Rasulullah juga melarang kita untuk membujang. Sebab
Allah telah menjadikan manusia berpasangan, dengan tugas untuk melakukan upaya
pengembangbiakan dan berketurunan. Maka, dengan sendirinya membujang berlawanan
dengan tugas fitrah yang dibebankan kepada manusia. Artinya, manusia yang hidup
di atas bumi bertanggung jawab untuk melestarikan keturunan sampai pada saat
Allah menetapkan terjadinya kiamat kelak.
Apabila ada seorang yang membujang tanpa ada alasan yang dibenarkan
menurut ajaran Islam, berarti dia telah melakukan tindakan ingkar kepada
syariat. Selain itu, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan
kufur kepada perintah Allah dan Rasul-Nya.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Hadits
pertama menjelaskan mengenai perintah nikah bagi yang telah mampu. Sedangkan bagi yang belum mampu hendaknya ia berpuasa untuk mengendalikan
nafsunya. Hadits tersebut tergolong hadits shahih.
Hadits kedua menjelaskan mengenai larangan hidup membujang,
sekalipun dengan tujuan untuk tabattul. Hadits tersebut juga tergolong hadits
yang shahih.
Pernikahan
adalah suatu jalan yang dipilih oleh Allah sebagai jalan bagi manusia untuk
mendapatkan keturunan. Allah telah
menjadikan manusia berpasangan, dengan tugas untuk melakukan upaya
pengembangbiakan dan berketurunan. Maka, dengan sendirinya membujang berlawanan
dengan tugas fitrah yang dibebankan kepada manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Falah. 2009. Materi dan Pembelajaran
Fiqih Mts-MA. Kudus: STAIN
Idrus
H. Alkaf. 2009. Ikhtisar Hadits Shahih Muslim. Surabaya: Karya Utama
Mardani.
2012. Hadis Ahkam. Jakarta: Rajawali Pers
Mardani. 2011. Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern.
Yogyakarta: Graha Ilmu
[1] Mardani,
Hadis Ahkam, Rajawali Pers, Jakarta, 2012, hlm. 219
[2] Mardani,
Hadis Ahkam, Rajawali Pers, Jakarta, 2012, hlm. 220
[3] Ibid.,
hlm. 221
[4] Mardani,
Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, Graha Ilmu, Yogyakarta,
2011, hlm. 4
[5] Idrus H.
Alkaf, Ikhtisar Hadits Shahih Muslim, Karya Utama, Surabaya, 2009, hlm.
214
[6] Ahmad
Falah, Materi dan Pembelajaran Fiqih
Mts-MA, STAIN, Kudus, 2009, hlm. 171
0 komentar:
Post a Comment