Blog yang diperuntukan untuk anak kuliah, terutama Mahasiswa Manajemen dan Ekonomi Syariah

Monday 24 October 2016

Posted by Dian Prasetyo in | 09:29:00 No comments
PERINTAH NIKAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah: Hadits
Dosen pengampu: Suhadi, M. S. I.


Disusun oleh:
Dian Prasetyo                          1320310118
Nur Hamid                              1320310119
Nurul Amala                           1320310120


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARIAH/PRODI MANAJEMEN BISNIS SYARIAH
TAHUN 2014





BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Nikah merupakan ikatan suami istri yang sah yang menimbulkan akibat hukum dan hak serta kewajiban bagi suami istri. Hubungan antara seorang laki-laki dan wanita merupakan tuntutan yang telah diciptakan oleh Allah dan untuk menghalalkan hubungan ini maka disyariatkanlah akad nikah.
Pernikahan adalah suatu jalan yang dipilih oleh Allah sebagai jalan bagi manusia untuk mendapatkan keturunan. Karena Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk lain yang hidup bebas mengikuti nalurinya. Allah membuat aturan hukum untuk menjaga kehormatan dan martabat manusia dengan pernikahan.
Dalam makalah ini, akan dijelaskan mengenai perintah menikah yang berdasarkan pada hadits.

B.       Rumusan Masalah
  1.   Perintah nikah
  2.   Larangan hidup membujang






BAB II
PEMBAHASAN

A.      Hadits 1
عَنِ عَبْدِ اللهِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: (يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ, مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اْلبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَاِنَّهُ اَغَضُّ لِلْبَصَرِ, وَ اَحْصَنُ لِلْفَرْجِ, وَ مَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَاِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ). مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Dari Abdullah bin Mas’ud dia berkata, bersabda Rasulullah SAW kepada kami: “Wahai pemuda, barangsiapa diantara kalian yang telah mampu menikah, maka menikahlah, karena menikah itu lebih menahan pandangan mata dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa tidak mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena puasa itu merupakan penawar syahwat baginya.” (HR. Bukhari-Muslim)[1]

a.    Kosa kata:
Lafadz
Arti
اسْتَطَاعَ
Telah mampu
فَلْيَتَزَوَّجْ
Maka menikahlah
اَغَضُلِلْبَصَر
Menahan pandangan mata
اَحْصَنُ لِلْفَرْجِ
Menjaga kemaluan
وِجَاءٌ
Penawar syahwat

b.   Tahrij Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari (5066) dan Muslim (2/1019/1020).

c.    Derajat Hadits
Hadits ini tergolong hadits shahih karena diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Beliau merupakan perawi yang telah memenuhi syarat dari hadits shahih. Hadits shahih merupakan hadits yang sanadnya muttasil (bersambung) kepada Nabi Muhammad SAW. Melalui rawi-rawi dengan karakteristik moral yang baik (‘adl) dan tingkat kapasitas intelektualitas (dhobit). Tanpa ada kejanggalan maupun kecacatan baik matan maupun sanadnya.

d.   Biografi Perawi
Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil al-Hudzali. Nama julukannya “Abu Abdirahman”. Ia sahabat ke enam yang paling dahulu masuk islam. Ia hijrah ke Habasyah dua kali, dan mengikut semua peperangan bersama Rasulullah SAW. Dalam perang Badar, Ia berhasil membunuh Abu Jahal.
Ketikah menjadi Khalifah Umar mengangkatnya menjadi Hakim dan Pengurus kas negara di kufah. Ia simbol bagi ketakwaan, kehati-hatian, dan kesucian diri.
Beliau datang ke Medinah dan sakit disana kemudian wafat pada tahun 32 H dan dimakamkan di Baqi, Utsman bin ‘Affan ikut menshalatkannya.

e.    Kesimpulan Hadits
Nikah merupakan perintah bagi yang terlah mampu untuk menikah. Sedangkan bagi yang belum mampu hendaknya ia berpuasa untuk mengendalikan nafsunya.


B.       Hadits 2
عَنْ سَعْدِ بْنِ اَبِى وَقَّاصٍ رضي الله عنه قَالَ: (رَدَّ رَسُوْلُ للهِ صلي الله عليه وسلم عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُوْنٍ التَّبَتُّلَ وَ لَوْاَذِنَ لَهُ لاَخْتَصَيْنَا). مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Dari Sa’ad bin Waqash, r.a., dia berkata: “Rasulullah SAW menolak Ustman bin Madz’un untuk hidup membujang (tabattul). Sekiranya beliau mengijinkannya, tentulah kami telah mengebiri diri kami.” (HR. Bukhari-Muslim)[2]

a.    Kosa Kata
Lafadz
Arti
رَدَّ
Menolak
التَّبَتُّلَ
Hidup membujang
اَذِنَ
Mengijinkan

b.   Tahrij Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari Muslim (Kitab Nikah, Hadits No. 299 dalam kitab Umdah al-Ahkam)

c.    Derajat Hadits
Hadits ini tergolong hadits shahih karena diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Beliau merupakan perawi yang telah memenuhi syarat dari hadits shahih. Hadits shahih merupakan hadits yang sanadnya muttasil (bersambung) kepada Nabi Muhammad SAW. Melalui rawi-rawi dengan karakteristik moral yang baik (‘adl) dan tingkat kapasitas intelektualitas (dhobit). Tanpa ada kejanggalan maupun kecacatan baik matan maupun sanadnya.

d.   Biografi Perawi
Nama lengkapnya adalah Sa’ad bin Abi Waqqash bin Uhaib Az-Zuhri dengan julukan “Abu Ishaq”, Ia adalah salah seorang diantara sepuluh orang sahabat yang mendapat kabar gembira bakal masuk surga, dan orang yang pertama dalam melontarkan panah dalam perang Sabillillah, ia orang yang ke empat lebih dulu masuk Islam melalui tangan Abu Bakar ketika umurnya 17 tahun.
Sa’ad bin Abi Waqqash mengikuti banyak peperangan bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, dalam peperangan itu ia bergabung dalam pasukan berkuda. Ia berasal dari bani Zuhrah seasal dengan ibu Nabi (Aminah).
Khilafah Umar bin Khaththab mengangkatnya menjadi komandan pasukan yang dikirimkan untuk memerangi orang Persia dan berhasil mengalahkannya pada tahun 15 H di Qadisiyah. Setahun setelahnya 16 H di Julailak ia menaklukan Madain dan Bani al-Kuffa pada tahun 17 H.
Sa’ad bin Abi Waqqash adalah penguasa Irak dimasa pemerintahan Umar bin Khaththab yang berlanjut pada masa pemerintahan Utsman bi Affan. Ia adalah seorang diantara enam sahabat orang yang dicalonkan menjadi Khalifah, sejak bencana besar atas terbunuhnya Utsman. Ia wafat pada tahun 55 H di Aqiq.

e.    Kesimpulan Hadits
Larangan hidup membujang.[3]

C.      Penjelasan Umum
Nikah adalah akad yang menimbulkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan dan menjadikan untuk kedua belah pihak secara timbal balik hak-hak dan kewajiban-kewajiban.[4] Dengan pernikahan seseorang dapat menjaga pandangannya dari hal-hal yang terlarang dan dapat menyalurkan tuntutan biologisnya secara halal.
Maksud mampu (al-ba’ah) dalam hadits pertama adalah mampu bersenggama.[5] Di samping itu, nikah dapat berbeda hukumnya  jika dikaitkan dengan kondisi dan niat seseorang.[6] Namun, bagi yang belum mampu hendaknya ia berpuasa. Puasa yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan niat ikhlas mencari ridha Allah akan dapat mencegah akan dorongan nafsu syahwat yang tidak baik.
Selain itu, Rasulullah juga melarang kita untuk membujang. Sebab Allah telah menjadikan manusia berpasangan, dengan tugas untuk melakukan upaya pengembangbiakan dan berketurunan. Maka, dengan sendirinya membujang berlawanan dengan tugas fitrah yang dibebankan kepada manusia. Artinya, manusia yang hidup di atas bumi bertanggung jawab untuk melestarikan keturunan sampai pada saat Allah menetapkan terjadinya kiamat kelak.
Apabila ada seorang yang membujang tanpa ada alasan yang dibenarkan menurut ajaran Islam, berarti dia telah melakukan tindakan ingkar kepada syariat. Selain itu, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan kufur kepada perintah Allah dan Rasul-Nya.






BAB III
PENUTUP

A.      Simpulan
Hadits pertama menjelaskan mengenai perintah nikah bagi yang telah mampu. Sedangkan bagi yang belum mampu hendaknya ia berpuasa untuk mengendalikan nafsunya. Hadits tersebut tergolong hadits shahih.
Hadits kedua menjelaskan mengenai larangan hidup membujang, sekalipun dengan tujuan untuk tabattul. Hadits tersebut juga tergolong hadits yang shahih.
Pernikahan adalah suatu jalan yang dipilih oleh Allah sebagai jalan bagi manusia untuk mendapatkan keturunan. Allah telah menjadikan manusia berpasangan, dengan tugas untuk melakukan upaya pengembangbiakan dan berketurunan. Maka, dengan sendirinya membujang berlawanan dengan tugas fitrah yang dibebankan kepada manusia.



DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Falah. 2009. Materi  dan Pembelajaran Fiqih Mts-MA. Kudus: STAIN
Idrus H. Alkaf. 2009. Ikhtisar Hadits Shahih Muslim. Surabaya: Karya Utama
Mardani. 2012. Hadis Ahkam. Jakarta: Rajawali Pers
Mardani. 2011. Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern. Yogyakarta: Graha Ilmu




[1] Mardani, Hadis Ahkam, Rajawali Pers, Jakarta, 2012, hlm. 219
[2] Mardani, Hadis Ahkam, Rajawali Pers, Jakarta, 2012, hlm. 220
[3] Ibid., hlm. 221
[4] Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011, hlm. 4
[5] Idrus H. Alkaf, Ikhtisar Hadits Shahih Muslim, Karya Utama, Surabaya, 2009, hlm. 214
[6] Ahmad Falah, Materi  dan Pembelajaran Fiqih Mts-MA, STAIN, Kudus, 2009, hlm. 171

0 komentar:

Post a Comment

Search

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter