Blog yang diperuntukan untuk anak kuliah, terutama Mahasiswa Manajemen dan Ekonomi Syariah

Monday, 24 October 2016

Posted by Dian Prasetyo in | 09:37:00 No comments
MAKALAH
THAREKAT QODIRIYAH NAQSABANDIYAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah: Tasawuf

Disusun oleh:
Dian Prasetyo                          1320310118




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARIAH/PRODI MANAJEMEN BISNIS SYARIAH
TAHUN 2014



BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Pada saat Rasulullah masih hidup beliau dan para sahabat serta tabi’in pada masanya masih mengajarkan agama Islam secara murni. Ketika Rasullullah serta para sahabat wafat ajaran dan amalan Islam yang asalnya murni tersebut berkembang dan berubah serta dimantapkan. Seiring berjalannya waktu muncullah golongan sufi yang mengamalkan amalan-amalan dengan tujuan kesucian jiwa untuk taqarrub kepada Allah. Para sufi kemudian membedakan pengertian-pengertian syari’ah, thariqat, haqiqat, dan makrifat.
Pada abad ke-5 Hijriyah atau 13 Masehi barulah muncul tarekat sebagai kelanjutan kegiatan kaum sufi sebelumnya. Hal ini ditandai dengan setiap silsilah tarekat selalu dihubungkan dengan nama pendiri atau tokoh-tokoh sufi yang lahir pada abad itu. Pelopor adanya tharekat adalah Abd al-Qadir al-Jailani yang juga merupakan pendiri tarekat Qodiriyah. Sehingga muncullah beberapa tarekat yang dihubungkan dengan nama pendiri tarekat tersebut, diantaranya tarekat Naqsyabandiyah itu merupakan tharekat muktabarah yang ada di Indonesia.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Tharekat?
2.      Apa tujuan Tharekat Qodiriyah Naqsabandiyah?
3.      Apa dasar-dasar Tharekat Qodiriyah Naqsabandiyah?
4.      Bagaimana Tharekat Qodiriyah Naqsabandiyah di Indonesia?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Tarekat
Tarekat menurut bahasa ialah Thariqah yang berarti jalan, keadaan, aliran, atau garis pada sesuatu. Sedangkan menurut istilah tarekat adalah jalan yang mengacu pada suatu sisten latihan meditasi maupun amalan-amalan (muraqabah, dzikir, wirid, dan sebagainya) yang dihubungkan dengan sederet guru sufi. Tarekat juga berarti organisasi yang tumbuh seputar metode sufi yang khosh.
1.      Tarekat Qadiriyah
Tarekat ini didirikan oleh Muhy Ad-Din Abd Al-Qadir al-Jailani (471 H/1078 M). Tarekat Qadiriyah adalah nama sebuah tarekat yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani. Nama lengkapnya adalah Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi salih Zangi Dost Al-Jailani (470 H/1077M – 561 H/1166 M) . Tarekat Qadiriyah berkembang dan berpusat di Irak dan siria kemudian diikuti oleh jutaan umat muslim yang terbesar di Yaman, Turki, Mesir, india, Afrika, dan Asia. Tarekat ini sudah berkembang sejak abad ke-13 M. Sekalipun demikian, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke-15 M. Di Mekah, tarekat Qadiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.
Tarekat Qadiriyah dikenal luwes, yaitu apabila sudah mencapai derajat Syekh, murid tidak mempunyai keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan, dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal tersebut tampak pada ungkapan Abdul Qadir jailani, “Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, dia menjadi mandiri sebagai Syekh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.”
Karena keluwesan tersebut, terdapat puluhan tarekat yang masuk ke dalam kategori Qadiriyah di dunia Islam, seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19,ghawtsiyah (1517), junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), dan lain-lain, semuanya dari India. Di Turki, terdapat tarekat hindiyah, khulusyiyah, dll. Di yaman, ada tarekat ahdaliyah, asadiyah, musyariyah. Adapun di afrika, diantaranya terdapat tarekat ammariyah, bakka’iyah, dan sebaginya.
2.      Tarekat Naqsabandiyah
Tarekat ini didirikan oleh muhammad Bahauddin An-Naqsabandi Al-Awisi Al-Bukhari (w. 1389) di Turkistan.
Kata Naqsabandiyah / Naqsyabandi / Naqhbandi نَقْشَبَنْدِى berasal dari Bahasa Persia, diambil dari nam pendirinya, yaitu Baha Uddin Naqshband Bukhari . Sebagian orang menerjemahkan kata tersebut sebagai “pembuat gambar”, “pembuat hiasan”. Sebagian lagi menerjemahkannya sebagai “Jalan Rantai” atau “Rantai Emas”.
Tarekat Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat sufi yang paling luas penyebarannya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim serta Turki., Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga Ural.
Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamakan menurut nama Syeh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alfi Tsani (Pembaru Milenium kedua). Pada akhir abad ke-18 nama ini hampir sinonim dengan tarekat tersebut di seluruh Asia selatan, wilayah Ustmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah. Ciri yang menonjol dari tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syariat secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, seta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, dan kecenderungannya semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten).[1]
Dalam perkembangannya, tarekat ini menyebar ke anatolia (turki) kemudian meluas ke India dan Indonesia dengan berbagai nama baru yang disesuaikan dengan pendirinya di daerah tersebut, seperti tarekat Khalidiyah, Muradiyah, Mujadidiyah, dan Ahsaniyah.
B.     Tujuan Tharekat Qodiriyah Naqsabandiyah
            Tujuan Tharekat Qodiriyah Naqsabandiyah sama dengan tujuan Islam, yaitu menuntun manusia agar mendapatkan ridha Allah, sejahtera di dunia dan bahagia di akhirat. Tujuan TQN tergambar dalam mukadimah yang mesti dibaca oleh setiap ikhwan manakala ia akan melakukan dzikrullah. Kalimat yang dimaksud adalah:
 “Tuhanku, Engkaulah yang aku maksud dan keridhaan-Mu yang aku cari. Beriah aku kemampuan untuk bisa mencintai-Mu dan makrifat kepada-Mu.” [2]
            Doa tersebut wajib dibaca oleh para ikhwan Tharekat Qodiriyah Naqsabandiyah setiap selesai sholat minimal dua kali sebagai mukadimah dan akhir pengalaman dzikir. Dalam doa tersebut terkandung empat macam tujuan TQN, yaitu:
1.      Taqarub ilallah SWT.
Ialah mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan dzikrullah yang mana dalam hal ini dapat dikatakan tak ada sesuatupun yang menjadi tirai penghalang antara abid dengan ma’bud, antara khalik dengan makhluk.
2.      Menuju jalan mardhatillah
Ialah menujualan yang diridhai Alah SWT. Baik dalam ‘ubudiyyah maupun di luar ubudiyyah. Maka dalam segala gerak-gerik manusia diharuskan mengikuti/menaati perintah-perintah Tuhan dan menjauhi/meninggalkan larangan-larangan-Nya.
3.      Kemakrifatan (al-makrifat); melihat Tuhan dengan mata hati.
4.      Kecintaan (mahabbah) terhadap Allah “Dzat Laisa Kamislihi Syaiun”, yang mana dalam mahabbah itu mengandung keteguhan jiwa dan kejujuran hati.[3]
C.    Dasar-Dasar Tharekat Qodiriyah Naqsabandiyah
            Adapun dasar-dasar TQN agar dapat mencapai tujuan sebagaimana tertulis di atas, dijelaskan oleh Tuan Syekh sendiri sebagai berikut:
Tinggi cita-cita. Barang siapa yang tinggi cita-citanya maka menjadi tinggilah martabatnya.
1.      Memelihara kehormatan. Barang siapa memelihara kehormatan Alla, Allah akan memelihara kehormatannya.
2.      Memperbaiki khidmat. Barang siapa memperbaii khidmat, ia wajib meperoleh rahmat.
3.      Melaksanakan cita-cita. Barang siapa berusaha mencapai cita-citanya, ia akan selalu memperoleh hidayah-Nya.
4.      Membesarkan nikmat. Barang siapa membesarkan nikmat Allah berarti ia bersyukur kepada Allah SWT. Barang siapa bersyukur kepada Allah SWT, maka ia akan mendapatkan tambahan nikmat sebagai yang dijanjikan Allah.[4]

D.    Tharekat Qodiriyah Naqsabandiyah di Indonesia
            Tharekat Qodiriyah Naqsabandiyah di Indonesia  bukan hanya penggabungan dari dua tharekat yang berbeda yang diamalkan bersama-sama. Tharekat ini lebih merupakan sebuah tharekat yang baru dan berdiri sendiri, yang di dalamnya terdapat unsur-unsur pilihan dari Qodiriyah dan juga Naqsabandiyah kemudian telah dipadukan menjadi sesuatu yang baru.
            Tharekat Qodiriyah Naqsabandiyah  mungkin sekali didirikan oleh tokoh Indonesia, yaitu Ahmad Khatib Ibn ‘Abd Al-Ghaffar Sambas, yang bermukim dan mengajar di Mekkah pada pertengahan abad kesembilan belas.[5]
            Ahmad Khatib sendiri tidak menulis sebuah buku atau kitab sama sekali, tetapi dua dari murid-muridnya dengan setia merekam ajaran-ajarannya dalam risalah pendek berbahasa Melayu, yang dengan gamblang menjelaskan dari tharekat ini. Salah satunya, Fath Al-‘Arifin dianggap oleh semua khalifah dimasa itu sebagai karya yaang paling dapat dipertanggungjawabkan mengenai tharekat. Karya tersebut menguraikan tentang baiat, zikir dan teknik-teknik serta peribadatan lain, baik dari tharekat Qodiriyah maupun dari tharekat Naqsabandiyah; risalah itu diakhiri dengan silsilah Ahmad Khatib.
Fath Al-‘Arifin di Indonesia dalam pengalamannya lebih didominasi unsur-unsur Qodiriyah, dominasi tersebut dapat dilihat dalam silsilah yang sama sekali tidak memuat nama-nama tokoh dari Naqsabandiyah yang sudah dikenal. Turun sampai kepada Abd’ Al-Qadir  dan putranya, ‘Abd Al-‘Aziz, merupakan silsilah Qodiriyah yang biasa; nama-nama berikutnya menurut dugaan Qodiriyah juga yang mana nama-nama yang diberikan dalam bentuk yang sesingkat mungkin, sehingga tidak dapat diketahui petunjuk ke wilayah mana secara geografis cabang tharekat ini termasuk. Silsilah tersebut dimulai dengan Allah dengan melalui malaikat Jibril sampai kepada Nabi Muhammad dan seterusnya.[6]
Sedikit yang dapat diketahui mengenai latar belakang dan kehidupan Ahmad Khatib, terlepas dari fakta bahwa ia berasal dari Sambas di Kalimantan barat dan tinggal lama di Makkah, kemudian beliau wafat di sana pada tahun 1878. Beliau adalah murid kesayangan gurunya Syams Al-Din, dan telah dipilih menjadi penggantinya, dengan demikian beliau mempunyai banyak murid diantaranya orang-orang Indonesia yang berkunjung ke Makkah dari segenap penjuru Nusantara: dari Malaya, Sumatera, Bali dan lombok. Ia pun banyak mengangkat khalifah, tetapi setelah ia wafat, hanya seorang dari mereka yang ini yang diakui sebagai pemimpin utama dari tharekat tersebut. Dia adalah Syaikh Abd’ Al-Karim dari banten, yang hampir seumur hidupnya telah bermukim di Makkah, dua khalifah lain yang berpengaruh adalah Syaikh Tolhah di Cirebon dan Kiai Ahmad Hasbullah ibn Muhammad (orang Madura yang juga menetap di Makkah).
Semua cabang-cabang Qodiriyah Naqsabandiyah yang tergolong penting di masa kini mempunyai hubungan keguruan dengan seorang atau beberapa orang dari ketiga khalifah tersebut diatas. Disamping mereka, ada lagi beberapa khalifah lain, seperti: Muhammad Isma’il ibn ‘Abd Al-Rahim dari bali, Syaikh Yasin dari Kedah (Malaya), yang belakangan menetap di Mempawah Kalimantan Barat, dan menyebarkan tharekat ini di sana. Kemudian juga ada orang lain yang menyebarkan tharekat ini di Lampung, beliau adalah Syaikh haji Ahmad Lampung dan juga Muhammad Ma’ruf ibn ‘Abdullah Khatib dari Palembang.[7] Perkembangan tharekat Qodiriyah Naqsabandiyah dalam perjalanannya juga menciptakan tharekat yang mandiri di berbagai penjuru Nusantara, diantaranya;  Banten, Bogor , Cirebon, Tasikmalaya, Jombang, Lombok dan masih banyak lagi, dimana di kota-kota tersebut didirikan pondok pesantren seperti, Darul Ulum di Jobang dan Suryalaya di Tasikmlaya.









BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Pengertian tharekat Menurut bahasa Tharekat adalah yang berarti berjalan, keadaan,  aliran, atau garis pada sesuatu.Manurut istilah Tharekat adalah jalan yang mengacu pada sistem latihan, meditasi maupun amalan-amalan yang dihubungkan guru sufi. Tharekat Qodiriyah Naqsabandiyah adalah tharekat yang baru dan berdiri sendiri, yang di dalamnya terdapat unsur-unsur pilihan dari Qodiriyah dan juga Naqsabandiyah kemudian telah dipadukan menjadi sesuatu yang baru. Tharekat Qodiriyah Naqsabandiyah  mungkin sekali didirikan oleh tokoh Indonesia, yaitu Ahmad Khatib Ibn ‘Abd Al-Ghaffar Sambas, yang bermukim dan mengajar di Mekkah pada pertengahan abad kesembilan belas
Tujuan tharekat Qodiriyah Naqsabandiyah adalah taqarrub Ilallah SWT, menuju jalan mardhatillah, kemakrifatan, kecintaan terhadap Allah serta mempunyai dasar-dasar Tinggi cita-cita Memelihara kehormatan, Memperbaiki khidmat, Melaksanakan cita-cita, dan membesarkan nikmat
Perkembangan tharekat Qodiriyah Naqsabandiyah di Indonesia dalam perjalanannya juga menciptakan tharekat yang mandiri di berbagai penjuru Nusantara, diantaranya;  Banten, Bogor , Cirebon, Tasikmalaya, Jombang, Lombok dan masih banyak lagi, dimana di kota-kota tersebut didirikan pondok pesantren seperti, Darul Ulum di Jobang dan Suryalaya di Tasikmlaya.
B.     Penutup
Demikian paper ini kami buat. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan dan pembahasan paper ini kami mohon maaf. Kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan untuk lebih baiknya paper yang kami buat selanjutnya.

Daftar Pustaka

Alba Cecep. Tasawuf dan Tarekat. PT  Remaja Rosdakarya. Bandung. 2012.
Bruinessen Martin van. Tarekat Naqsabandiyah Di Indonesia. Mizan. Bandung. 1992.





[1] https://putrifikriati.wordpress.com/, diakses pada tanggal 14 Mei 2015, Pukul 16.52 WIB
[2] Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, PT  Remaja Rosdakarya, Bandung, 2012, hlm. 95
[3] Ibid, hlm. 96
[4] Ibid, hlm. 97-98
[5] Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah Di Indonesia, Mizan, Bandung, 1992, hlm. 89
[6] Ibid, hlm. 90
[7] Ibid, hlm. 91-92

0 komentar:

Post a Comment

Search

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter