Blog yang diperuntukan untuk anak kuliah, terutama Mahasiswa Manajemen dan Ekonomi Syariah

Saturday 24 December 2016

Posted by Dian Prasetyo in | 18:52:00 No comments
MAKALAH
AL-WARA TASAWUF

Disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah: Tasawuf


Disusun oleh:
Dian Prasetyo                          1320310118




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARIAH/PRODI MANAJEMEN BISNIS SYARIAH
TAHUN 2014



BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
Tasawuf merupakan cara menyucikan diri, meningkatkan akhlak dan membangun kehidupan jasmani dan rohani untuk mencapai kehidupan abadi. Unsur utama tasawuf adalah penyucian diri dan tujuan akhirnya adalah kebahagiaan dan keselamatan.
Tasawuf merupakan visi langsung terhadap sesuatu, buakan melalui dalil. Para sufi mengatakan hal itu sesuai dengan pengalaman mereka masing-masing. Apalagipengalaman tasawuf ini juga merupakan karunia dari Tuhan setelah seseorang menempuh penyucian rohani itu melalui latihan fisik-psikis yang berat.
Tasawuf juga mempunyai maqam. Maqamat dalam bahasa berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Selanjutnya, arti ini dipakai untuk arti jalan panjang secara berjenjang yang harus ditempuh oleh orang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Sebenarnya ada banyak maqamat tasawuf, namun kali ini kami akan memaparkan mengenai Al-Wara’.

B.       Rumusan masalah
1.        Apa pengertian Al-Wara’?
2.        Bagaimana tingkatan-tingkatan yang terdapat dalam Al-Wara’?
3.        Bagaimana tanda-tanda Al-Wara’?
4.        Apa saja manfaat Al-Wara’?




 BAB II
PEMBAHASAN
A.       Pengertian Al-Wara’
Secara lughawi wara’ artinya hati-hati. Secara istilah wara’ adalah sikap menahan diri agar hatimu tidak menyimpangkap sekejap pun dari mengingat Allah. Sufi yang lain mengemukakan bahwa wara’ adalah seorang hamba tidak berbicara melainkan dalam kebenaran, baik dalam keadaan rida maupun dalam keadaan marah.[1]
Definisi wara’ menurut Sufi, adalah bahwa : “Kamu menahan diri agar hatimu tidak menyimpang dalam sekejappun dari mengingat Allah. Jadi, wara’ itu permulaannya zuhud, keberadaannya wara’ karena ada rasa takut akan Allah, takut terjadi karena makrifat kepada Allah, makrifat sendiri terjadi karena dekat dengan Allah SWT (taqarrub).
Dalam tradisi sufi yang dimaksud dengan wara’ adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas atau jelas hukumnya (subhat).[2] Hal ini berlaku pada segala hal atau aktifitas kehidupan manusia, baik yang berupa benda maupun perilaku seperti makanan, minuman, pakaian, pembicaraan, perjalanan, duduk, berdiri, bersantai bekerja dan lain-lain. Disamping meninggalkan segala sesuatu yang belum jelas hukumnya, dalam tradisi sufi wara’ juga berarti meninggalkan segala sesuatu yang berlebihan, baik berwujud benda maupun perilaku. Lebih dari itu meningglkan segala segala sesuatu yang tidak bermanfaat, atau tidak jelas manfaatnya.
Adapun yang menjadi dasar ajaran wara’ adalah nabi Muhammad SAW artinya: “Sebagian dari kebaikan tindakan keislaman seseorang adalah bahwa ia menjauihi sesuatu yang tidak berarti.” Juga hadits lain yang artinya: “: Bersikaplah wara’ dan kamu akan menjadi orang yang paling taat beribadah"
B.       Tingkatan Wara’
Wara’ ada empat tingkatan, yaitu:
a.         Wara’ orang ‘awam
yakni wara’ orang kebanyakan yaitu menahan diri dari melakukan hal-hal yang dilarang Allah SWT.
b.        Wara’ orang saleh
Menahan diri dari menyentuh atau memakan sesuatu yang mungkin akan jatuh kepada haram, misalnya memakan sesuatu yang tidak jelas hukumnya (subhat)
c.         Wara’ muttaqin
Menahan diri dari sesuatu yang tidak diharamkan dan tidak syubhat karena takut jatuh kepada yang haram.
Nabi bersabda, yang artinya:
“seorang hamba tidak akan mencapai derajat muttaqin sehingga dia meninggalkan apa yang tidak berdosa karena takut akan apa yang dapat menimbulkan dosa” (HR. Ibn Majah)
d.        Wara’ orang benar
Wara’ orang benar ialah menahan diri dari apa yang tidak berdosa sama sekali dan tidak khawatir jatuh kedalam dosa, tapi dia menahan diri melakukannya karena takut tidak ada niat untuk beribadah kepada Allah atau karena dapat membawanya kepada sebab-sebab yang memudahkannya jatuh kepada yang makruh atau maksiat. Menahan diri melakukan sesuatu yang tidak dilarang karena takut tidak ada niat untuk beribadah kepada Allah.[3]

Lebih lanjut para ahli tasawuf juga membagi wara’ pada dua bagian. Yaitu wara’ yang bersifat lahiriyah dan wara’ batiniyah. Wara’ lahiriyah berarti meninggalkan segala hal yang tidak diridhoi oleh Allah, sedangkan wara’ batiniyah berarti tidak mengisi atau menempatkan sesuatu dihatinya kecuali Allah.[4]

C.       Tanda-Tanda Wara`
Menurut Al-Faqih, bukti adanya wira'i (wara') dalam diri seseorang adalah jika dalam diri orang tersebut telah ada sepuluh kewajiban, yaitu:
1. Memelihara lisan, tidak sampai ghibah atau menggunjing. Firman Allah swt. dalam surah al-Hujurat ayat 12 yang artinya, "Janganlah setengah di antara kamu menggunjing terhadap setengah lainnya."
2. Tidak buruk sangka. Firman Allah swt. dalam surah al-Hujurat ayat 12 yang artinya, "Hindarkanlah prasangka buruk, karena setengahnya adalah dosa."
Dalam hadits Nabi saw. dijelaskan yang artinya, "Hati-hatilah kamu dari prasangka buruk, karena hal itu adalah perkataan paling bohong."
3. Tidak menghina (merendahkan) orang lain. Firman Allah swt. dalam surah al-Hujurat ayat 11 yang artinya, "Janganlah suatu kaum menghina kaum lainnya, boleh jadi kaum yang dihina itu adalah lebih baik dari pada kaum yang menghina."
4. Memelihara pandangan mata dari yang haram. Firman Allah swt. dalam surah Nur ayat 30 yang artinya, "Katakanlah, ada orang-orang mukmin agar memejamkan pandangan matanya dari yang haram."
5. Berbicara benar. Firman Allah swt. dalam surah al-An'am ayat 152 yang artinya, "Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil."
6. Mengingat nikmat Allah swt. yang telah diberikan kepadanya agar tidak sombong. Firman Allah swt. dalam surah al-Hujurat ayat 17 yang artinya, "Bahkan Allah-lah yang memberi karunia kepadamu ketika kau diberi petunjuk, sehingga kau beriman. Jika kau benar-benar beriman."
7. Menggunakan hartanya dalam jalan kebenaran, bukan pada kebatilan. Firman Allah swt. dalam surah al-Furqan ayat 67 yang artinya, "Orang-orang yang membelanjakan hartanya tiada berlebihan dan tiada kikir, mereka tengah-tengah (berlaku sedang) dalam hal itu."
8. Tidak ambisi kedudukan dan tidak pula berlaku sombong. Firman Allah swt. dalam surah al-Qashash ayat 83 yang artinya, "Negeri akhirat sengaja Kami sediakan bagi mereka yang tidak ambisi kedudukan dunia dan tidak pula suka merusak."
9. Memelihara (waktu) sholat dan menyempurnakan ruku dan sujudnya. Firman Allah swt. dalam surah al-Baqarah ayat 238 yang artinya, "Peliharalah (waktu-waktu) sholat, terutama sholat pertengahan, tegakkanlah dengan khusyu', diam bermunajat."
10. Istiqomah mengikuti sunnah Rasul dan jamaah umat Islam. Firman Allah swt. dalam surah al-An'am ayat 153 yang artinya, "Inilah ajaran yang menuju kepada keridhoan-Ku (jalan lurus-benar), lalu ikutilah, jangan mengikuti jalan-jalan lain, (jika demikian), pasti menyimpang jauh dari jalan Allah. Demikianlah pesan Dia kepadamu agar kamu bertakwa ."Ketahuilah bahwa wara' itu baik, tetapi jika berlebih-lebihan sampai di luar batas, akhirnya menjadi tidak baik. Rasulullah saw. bersabda, "Celakalah orang-orang yang melampaui batas."[5]

D.       Manfaat Wara’
1.         Terhindar dari adzab Allah, pikiran menjadi tenang dan hati menjadi tentram.
2.         Menahan diri dari hal yang dilarang.
3.         Tidak menggunakan waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.
4.         Mendatangkan cinta Allah karena Allah mencintai orang-orang yang wara’.
5.         Membuat doa dikabulkan, karena manusia jika mensucikan makanan, minuman dan bersikap wara’, lalu mengangkat kedua tangan nya untuk berdoa, maka doa nya akan segera dikabulkan.
6.         Mendapatkan keridhaan Allah dan bertambahnya kebaikan.
7.         Terdapat perbedaan tingkatan manusia didalam surga sesuai dengan perbedaan tingkatan wara’ mereka.[6]



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Secara lughawi wara’ artinya hati-hati. Secara istilah wara’ adalah sikap menahan diri agar hatimu tidak menyimpangkap sekejap pun dari mengingat Allah. Sufi yang lain mengemukakan bahwa wara’ adalah seorang hamba tidak berbicara melainkan dalam kebenaran, baik dalam keadaan rida maupun dalam keadaan marah.
Tingkatan Wara’ ada empat tingkatan, yaitu: 1. Wara’ orang ‘awam 2. Wara’ orang saleh 3. Wara’ muttaqin 4. Wara’ orang benar.
Menurut Al-Faqih, bukti adanya wira'i (wara') dalam diri seseorang adalah jika dalam diri orang tersebut telah ada sepuluh kewajiban, yaitu: Memelihara lisan, Tidak buruk sangka, Tidak menghina (merendahkan) orang lain, Memelihara pandangan mata dari yang haram, Berbicara benar. Firman Allah swt, Mengingat nikmat Allah swt, Menggunakan hartanya dalam jalan kebenaran, Tidak ambisi kedudukan dan tidak pula berlaku sombong, Memelihara (waktu) sholat dan menyempurnakan ruku dan sujudnya, Istiqomah mengikuti sunnah Rasul dan jamaah umat Islam
Manfaat Wara’ diantaranya: a. Terhindar dari adzab Allah, pikiran menjadi tenang dan hati menjadi tentram. b. Menahan diri dari hal yang dilarang. c. Tidak menggunakan waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. d. Mendatangkan cinta Allah karena Allah mencintai orang-orang yang wara’. e. Membuat doa dikabulkan, karena manusia jika mensucikan makanan, minuman dan bersikap wara’, lalu mengangkat kedua tangan nya untuk berdoa, maka doa nya akan segera dikabulkan. f. Mendapatkan keridhaan Allah dan bertambahnya kebaikan.

DAFTAR PUSTAKA
Dr. H. Cecep Alba, M.A., Tasawuf dan Tarekat, PT RemajaRosdakarya, Bandung, 2012.
Abu a-Qasim ibn ‘Abd al-Karim ibn Hawazi al –Qusyairi a-Naishaburi, al-Risalah al-Qusyairiyah, Dar al-Khair.
Qamar Kaylani, fi al-Tasawuf al-Islam, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1969.
http://gurungaji-ygni.blogspot.sg/2014/04/pengertian-ciri-dan-dalil-tentang-wara.html.




[1] Dr. H. Cecep Alba, M.A., Tasawuf dan Tarekat, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2012, hlm. 22
[2] Abu a-Qasim ibn ‘Abd al-Karim ibn Hawazi al –Qusyairi a-Naishaburi, al-Risalah al-Qusyairiyah, Dar al-Khair, hlm. 110
[3] Dr. H. Cecep Alba, M.A., Op.Cit, hlm. 23
[4] Qamar Kaylani, fi al-Tasawuf al-Islam, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1969, hlm. 32
[5] http://gurungaji-ygni.blogspot.sg/2014/04/pengertian-ciri-dan-dalil-tentang-wara.html
[6] Ibid

0 komentar:

Post a Comment

Search

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter