MAKALAH
AL-WARA TASAWUF
AL-WARA TASAWUF
Disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah: Tasawuf
Disusun oleh:
Dian Prasetyo 1320310118
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARIAH/PRODI MANAJEMEN BISNIS SYARIAH
TAHUN 2014
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tasawuf merupakan cara menyucikan diri, meningkatkan akhlak dan membangun kehidupan jasmani dan rohani untuk
mencapai kehidupan abadi. Unsur utama tasawuf adalah penyucian diri dan
tujuan akhirnya adalah kebahagiaan dan keselamatan.
Tasawuf
merupakan visi langsung terhadap sesuatu, buakan melalui dalil. Para sufi mengatakan hal itu sesuai dengan pengalaman mereka
masing-masing. Apalagipengalaman tasawuf ini juga merupakan karunia dari Tuhan
setelah seseorang menempuh penyucian rohani itu melalui latihan fisik-psikis
yang berat.
Tasawuf juga
mempunyai maqam. Maqamat dalam bahasa berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal
mulia. Selanjutnya, arti ini dipakai untuk arti jalan panjang secara berjenjang
yang harus ditempuh oleh orang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Sebenarnya
ada banyak maqamat tasawuf, namun kali ini kami akan memaparkan mengenai
Al-Wara’.
B.
Rumusan masalah
1.
Apa
pengertian Al-Wara’?
2.
Bagaimana
tingkatan-tingkatan yang terdapat dalam Al-Wara’?
3.
Bagaimana
tanda-tanda Al-Wara’?
4.
Apa
saja manfaat Al-Wara’?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Al-Wara’
Secara lughawi wara’ artinya hati-hati. Secara istilah wara’ adalah
sikap menahan diri agar hatimu tidak menyimpangkap sekejap pun dari mengingat
Allah. Sufi yang lain mengemukakan bahwa wara’ adalah seorang hamba tidak
berbicara melainkan dalam kebenaran, baik dalam keadaan rida maupun dalam
keadaan marah.[1]
Definisi wara’
menurut Sufi, adalah bahwa : “Kamu menahan diri agar hatimu tidak menyimpang
dalam sekejappun dari mengingat Allah. Jadi, wara’ itu
permulaannya zuhud, keberadaannya wara’ karena ada rasa takut akan Allah, takut
terjadi karena makrifat kepada Allah, makrifat sendiri terjadi karena dekat dengan
Allah SWT (taqarrub).
Dalam tradisi
sufi yang dimaksud dengan wara’ adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak
jelas atau jelas hukumnya (subhat).[2]
Hal ini berlaku pada segala hal atau aktifitas kehidupan manusia, baik yang
berupa benda maupun perilaku seperti makanan, minuman, pakaian, pembicaraan,
perjalanan, duduk, berdiri, bersantai bekerja dan lain-lain. Disamping
meninggalkan segala sesuatu yang belum jelas hukumnya, dalam tradisi sufi wara’
juga berarti meninggalkan segala sesuatu yang berlebihan, baik berwujud benda
maupun perilaku. Lebih dari itu meningglkan segala segala sesuatu yang tidak
bermanfaat, atau tidak jelas manfaatnya.
Adapun yang
menjadi dasar ajaran wara’ adalah nabi Muhammad SAW artinya: “Sebagian dari
kebaikan tindakan keislaman seseorang adalah bahwa ia menjauihi sesuatu yang
tidak berarti.” Juga hadits lain yang artinya: “: Bersikaplah wara’ dan kamu
akan menjadi orang yang paling taat beribadah"
B.
Tingkatan
Wara’
Wara’ ada empat tingkatan, yaitu:
a.
Wara’
orang ‘awam
yakni
wara’ orang kebanyakan yaitu menahan diri dari melakukan hal-hal yang dilarang
Allah SWT.
b.
Wara’
orang saleh
Menahan
diri dari menyentuh atau memakan sesuatu yang mungkin akan jatuh kepada haram,
misalnya memakan sesuatu yang tidak jelas hukumnya (subhat)
c.
Wara’
muttaqin
Menahan
diri dari sesuatu yang tidak diharamkan dan tidak syubhat karena takut jatuh
kepada yang haram.
Nabi
bersabda, yang artinya:
“seorang
hamba tidak akan mencapai derajat muttaqin sehingga dia meninggalkan apa yang
tidak berdosa karena takut akan apa yang dapat menimbulkan dosa” (HR. Ibn
Majah)
d.
Wara’
orang benar
Wara’
orang benar ialah menahan diri dari apa yang tidak berdosa sama sekali dan
tidak khawatir jatuh kedalam dosa, tapi dia menahan diri melakukannya karena
takut tidak ada niat untuk beribadah kepada Allah atau karena dapat membawanya
kepada sebab-sebab yang memudahkannya jatuh kepada yang makruh atau maksiat.
Menahan diri melakukan sesuatu yang tidak dilarang karena takut tidak ada niat
untuk beribadah kepada Allah.[3]
Lebih lanjut
para ahli tasawuf juga membagi wara’ pada dua bagian. Yaitu wara’ yang bersifat lahiriyah dan wara’ batiniyah.
Wara’ lahiriyah berarti meninggalkan segala hal yang tidak diridhoi oleh Allah,
sedangkan wara’ batiniyah berarti tidak mengisi atau menempatkan sesuatu
dihatinya kecuali Allah.[4]
C.
Tanda-Tanda Wara`
Menurut
Al-Faqih, bukti adanya wira'i (wara') dalam diri seseorang adalah jika dalam
diri orang tersebut telah ada sepuluh kewajiban, yaitu:
1. Memelihara
lisan, tidak sampai ghibah atau menggunjing. Firman Allah swt. dalam surah
al-Hujurat ayat 12 yang artinya, "Janganlah setengah di antara
kamu menggunjing terhadap setengah lainnya."
2. Tidak buruk
sangka. Firman Allah swt. dalam surah al-Hujurat ayat 12 yang artinya, "Hindarkanlah prasangka buruk, karena setengahnya adalah dosa."
Dalam hadits
Nabi saw. dijelaskan yang artinya, "Hati-hatilah kamu dari
prasangka buruk, karena hal itu adalah perkataan paling bohong."
3. Tidak
menghina (merendahkan) orang lain. Firman Allah swt. dalam surah al-Hujurat
ayat 11 yang artinya, "Janganlah suatu kaum menghina
kaum lainnya, boleh jadi kaum yang dihina itu adalah lebih baik dari pada kaum
yang menghina."
4. Memelihara
pandangan mata dari yang haram. Firman Allah swt. dalam surah Nur ayat 30 yang
artinya, "Katakanlah, ada orang-orang mukmin agar memejamkan pandangan
matanya dari yang haram."
5. Berbicara
benar. Firman Allah swt. dalam surah al-An'am ayat 152 yang artinya, "Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil."
6. Mengingat
nikmat Allah swt. yang telah diberikan kepadanya agar tidak sombong. Firman
Allah swt. dalam surah al-Hujurat ayat 17 yang artinya, "Bahkan Allah-lah yang memberi karunia kepadamu ketika kau diberi
petunjuk, sehingga kau beriman. Jika kau benar-benar beriman."
7. Menggunakan
hartanya dalam jalan kebenaran, bukan pada kebatilan. Firman Allah swt. dalam
surah al-Furqan ayat 67 yang artinya, "Orang-orang yang membelanjakan
hartanya tiada berlebihan dan tiada kikir, mereka tengah-tengah (berlaku
sedang) dalam hal itu."
8. Tidak ambisi
kedudukan dan tidak pula berlaku sombong. Firman Allah swt. dalam surah
al-Qashash ayat 83 yang artinya, "Negeri akhirat sengaja Kami
sediakan bagi mereka yang tidak ambisi kedudukan dunia dan tidak pula suka
merusak."
9. Memelihara
(waktu) sholat dan menyempurnakan ruku dan sujudnya. Firman Allah swt. dalam
surah al-Baqarah ayat 238 yang artinya, "Peliharalah (waktu-waktu)
sholat, terutama sholat pertengahan, tegakkanlah dengan khusyu', diam
bermunajat."
10. Istiqomah
mengikuti sunnah Rasul dan jamaah umat Islam. Firman Allah swt. dalam surah
al-An'am ayat 153 yang artinya, "Inilah ajaran yang menuju
kepada keridhoan-Ku (jalan lurus-benar), lalu ikutilah, jangan mengikuti
jalan-jalan lain, (jika demikian), pasti menyimpang jauh dari jalan Allah.
Demikianlah pesan Dia kepadamu agar kamu bertakwa ."Ketahuilah
bahwa wara' itu baik, tetapi jika berlebih-lebihan sampai di luar batas,
akhirnya menjadi tidak baik. Rasulullah saw. bersabda, "Celakalah orang-orang yang melampaui batas."[5]
D.
Manfaat Wara’
1.
Terhindar dari adzab Allah, pikiran menjadi
tenang dan hati menjadi tentram.
2.
Menahan diri dari hal yang dilarang.
3.
Tidak menggunakan waktu untuk hal-hal yang
tidak bermanfaat.
4.
Mendatangkan cinta Allah karena Allah mencintai
orang-orang yang wara’.
5.
Membuat doa dikabulkan, karena manusia jika
mensucikan makanan, minuman dan bersikap wara’, lalu mengangkat kedua tangan
nya untuk berdoa, maka doa nya akan segera dikabulkan.
6.
Mendapatkan keridhaan Allah dan bertambahnya
kebaikan.
7.
Terdapat perbedaan tingkatan manusia didalam
surga sesuai dengan perbedaan tingkatan wara’ mereka.[6]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara lughawi wara’ artinya hati-hati. Secara istilah wara’ adalah
sikap menahan diri agar hatimu tidak menyimpangkap sekejap pun dari mengingat Allah. Sufi
yang lain mengemukakan bahwa wara’ adalah seorang hamba tidak berbicara
melainkan dalam kebenaran, baik dalam keadaan rida maupun dalam keadaan marah.
Tingkatan Wara’ ada empat tingkatan, yaitu: 1. Wara’ orang ‘awam 2.
Wara’ orang saleh 3. Wara’
muttaqin 4. Wara’ orang benar.
Menurut
Al-Faqih, bukti adanya wira'i (wara') dalam diri seseorang adalah jika dalam
diri orang tersebut telah ada sepuluh kewajiban, yaitu:
Memelihara
lisan, Tidak buruk sangka, Tidak menghina
(merendahkan) orang lain, Memelihara
pandangan mata dari yang haram, Berbicara
benar. Firman Allah swt, Mengingat
nikmat Allah swt, Menggunakan
hartanya dalam jalan kebenaran, Tidak ambisi
kedudukan dan tidak pula berlaku sombong, Memelihara
(waktu) sholat dan menyempurnakan ruku dan sujudnya, Istiqomah
mengikuti sunnah Rasul dan jamaah umat Islam
Manfaat Wara’
diantaranya: a. Terhindar dari adzab Allah, pikiran menjadi tenang dan hati
menjadi tentram. b. Menahan diri dari hal yang dilarang. c. Tidak menggunakan
waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. d. Mendatangkan cinta Allah karena
Allah mencintai orang-orang yang wara’. e. Membuat doa dikabulkan, karena
manusia jika mensucikan makanan, minuman dan bersikap wara’, lalu mengangkat
kedua tangan nya untuk berdoa, maka doa nya akan segera dikabulkan. f. Mendapatkan
keridhaan Allah dan bertambahnya kebaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. H. Cecep Alba, M.A., Tasawuf dan Tarekat,
PT RemajaRosdakarya, Bandung, 2012.
Abu
a-Qasim ibn ‘Abd al-Karim ibn Hawazi al –Qusyairi a-Naishaburi, al-Risalah
al-Qusyairiyah, Dar al-Khair.
Qamar Kaylani, fi al-Tasawuf al-Islam,
Dar al-Ma’arif, Kairo, 1969.
http://gurungaji-ygni.blogspot.sg/2014/04/pengertian-ciri-dan-dalil-tentang-wara.html.
[2] Abu a-Qasim ibn ‘Abd al-Karim ibn Hawazi al
–Qusyairi a-Naishaburi, al-Risalah al-Qusyairiyah, Dar al-Khair, hlm.
110
0 komentar:
Post a Comment