BIOGRAFI SUNAN AMPEL
A.
NAMA
SUNAN AMPEL
Sunan Ampel pada masa kecilnya bernama Sayyid Muhammad
‘Ali Rahmatullah, setelah pindah ke Jawa Timur dipanggil oleh masyarakat dengan
panggilan Sunan Ampel atau Raden Rahmat. lahir pada tahun 1401 Masehi di
“Champa”
B.
TEMPAT
KELAHIRAN
Ada dua pendapat mengenai lokasi Champa ini.
Encyclopedia Van Nederlandesh Indie mengatakan bahwa Champa adalah satu negeri
kecil yang terletak di “Kamboja”. Pendapat lain, “Raffles” menyatakan bahwa
Champa terletak di “Aceh” yang kini bernama “Jeumpa”.
Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat
dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini
menjadi bagian dari Surabaya ( kota Wonokromo sekarang).
C.
NASAB
SUNAN AMPEL
Sunan Ampel bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin
Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik
Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam
bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin
Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali
Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad
Rasulullah
D.
ISTERI
DAN ANAK SUNAN AMPEL
Sunan Ampel menikah dengan:
Isteri Pertama, yaitu: Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo
Tejo Al-Abbasyi, berputera:
1. Maulana
Mahdum Ibrahim/Raden Mahdum Ibrahim/ Sunan Bonang
2. Syarifuddin/Raden
Qasim/ Sunan Derajat
3. Siti
Syari’ah/ Nyai Ageng Maloka/ Nyai Ageng Manyuran
4. Siti
Muthmainnah
5. Siti
Hafsah
II. Isteri Kedua adalah Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning, berputera:
- Dewi Murtasiyah/ Istri Sunan Giri
- Dewi Murtasimah/ Asyiqah/ Istri Raden Fattah
- Raden Husamuddin (Sunan Lamongan)
- Raden Zainal Abidin (Sunan Demak)
- Pangeran Tumapel
- Raden Faqih (Sunan Ampel 2)
E.
DAKWAH
SUNAN AMPEL
Ulama adalah pewaris para nabi. Sebuah pengakuan
sekaligus penegasan resmi Rasulullah saw. tentang penerus perjuangan Islam
untuk memimpin umat dan membimbing mereka kepada jalan agama Allah swt serta
mengarahkan mereka menuju kebaikan.
Raden Rahmatullah atau yang lebih dikenal dengan
sebutan Sunan Ampel adalah satu dari sekian banyak waratsatul anbiya’ yang
dipercaya oleh Allah swt. untuk meneruskan estafet perjuangan Rasulullah Saw.
Beliau adalah sosok ulama teladan sekaligus waliyyun min auliyaillah’.
Tipe pemimpin ideal ada di sini: muballigh ulung,
cendekiawan sejati, dan penuh perhitungan dalam setiap langkah menapaki
terjalnya jalan dakwah dan menghadapi tantangan masyarakat yang sebelumnya
telah mempunyai keyakinan yang membumi akan faham budhisme, hinduisme dan
kepercayaan “isme-isme” yang lain, jauh sebelum sunan Ampel datang menebarkan
ajaran rahmatan lil alamin.
Sebuah langkah tepat beliau lakukan sebagai strategi
awal dalam metodologi dakwahnya, yaitu pembauran dengan masyarakat akar rumput
yang merupakan titik sentral dari sasaran dakwahnya. Saat itulah kecendekiaan
dan intlektualitasnya benar-benar teruji. Tidak mudah tentunya. Di tempat yang
sangat asing, jumud dan kolot, seorang pendatang dari negeri Campa berusaha
untuk beradaptasi dengan kultur-sosial yang tidak pernah dikenal sebelumnya.
Dengan diplomasinya yang gemilang, Kanjeng Sunan Ampel
berhasil mensejajarkan kaum Muslimin kala itu dengan kalangan “elite” dalam
kasta-kasta mesyarakat dan pemerintahan Majapahit. Pemerintahan Majapahit pun
sangat menghormati dan menghargai hak-hak dan kewajiban orang Islam, bahkan
tidak sedikit dari punggawa kerajaan yang akhirnya memeluk agama Islam sebagai
way of life-nya.
Kalau metodologi dakwah Sunan Ampel dengan masyarakat
akar rumput dilakukan dengan cara pembauran dan pendekatan, beda halnya dengan
metode yang ditempuh ketika menghadapi orang-orang cerdik-cendikia. Pendekatan
intelektual dengan memberikan pemahaman logis adalah alternatif yang beliau
tempuh. Hal ini sebagaimana tercermin dalam dialognya dengan seorang biksu Budha.
Suatu ketika, seorang biksu datang menemui Sunan
Ampel. Kemudian terjadilah percakapan seputar akidah berikut:
Biksu: Setiap hari Tuan sembahyang menghadap ke arah
kiblat. Apakah Tuhan Tuan ada di sana?”
Sunan Ampel: Setiap hari Anda memasukkan makanan ke
dalam perut agar Anda bisa bertahan hidup. Apakah hidup Anda ada di dalam
perut?”
Biksu itu diam tidak menjawab. Tapi dia bertanya lagi, “Apa maksud tuan
berkata begitu?”
“Saya sembahyang menghadap kiblat, tidak berarti Tuhan
berada di sana. Saya tidak tahu Tuhan berada di mana. Sebab, kalau manusia
dapat mengetahui keberadaan tuhannya, lantas apa bedanya manusia dengan Tuhan?
Kalau demikian buat apa saya sembahyang?!”
Cerita berakhir. Dan si biksu kemudian masuk Islam
karena ia gamang akan otentisitas ajaran agamanya. Satu ending yang sangat
memuaskan. Tidak hanya bagi si pelaku cerita, tapi juga untuk kita: sebuah
pelajaran tentang metedologi dakwah di hadapan orang yang tidak bertuhankan
Tuhan.
Sunan Ampel.: etos dakwah di tanah Jawa di samping
icon Sunan Kalijaga, di sisi yang lain. Beliau adalah satu dari sekian banyak
wali Allah yang menghabiskan hidupnya hanya untuk berdakwah di jalan-Nya.
Metodologi dakwahnya memang tidak sama dengan metodologi ala Sunan Kalijaga
atau Sunan Muria, yang menggunakan pendekatan seni-budaya Jawa sebagai media
dakwahnya. Sunan Ampel lebih menggunakan pendekatan intelektual—dengan
memberikan pemahaman tentang Islam melalui wacana intelektual dan diskusi yang
cerdas dan kritis serta dapat dinalar oleh akal. Cerita di atas adalah bukti
sejarahnya.
Dialog Sunan Ampel-biksu telah mengingatkan kita
kepada jawaban Nabi Ibrahim as. dilontarkan kepada raja Namrudz ketika beliau
dituduh menghancurkan tuhan-tuhan mereka, “Bahkan, Tuhan yang paling besar
inilah yang melakukannya”. Bedanya, Namrudz tidak pernah mau menerima kebenaran
itu meski dia mengetahuinya. Kemudian kita bertanya, mungkinkah orang sekelas
biksu dapat ditaklukkan hanya dengan melalui pendekatan budaya? Bisa jadi, tapi
mungkin sulit.
Urgensitas budaya sebagai media dakwah alternatif
memang tak bisa dibantah. Sejarah juga membuktikan bahwa pendekatan
kultur-budaya yang dimainkan oleh Sunan Kalijaga berhasil dengan sangat
gemilang. Tapi, sejatinya, pendekatan kultur-budaya hanya relevan untuk
komunitas masyarakat kelas menengah ke bawah. Sedang untuk obyek intelektual
kelas atas mungkin sangat pas bila menggunakan jalur seperti yang ditempuh
Sunan Ampel.
Dus, dengan dua metodologi yang dipakainya, beliau
telah berhasil menciptakan harmoni antara ulama dan umara, antara akar rumput
dan kalangan pemerintahan, walaupun masih berada dalam sekat tertentu, karena
beliau–sebagai sosok da’i yang mempertaruhkan hidupnya untuk berdakwah dan
mengayomi umat–tetap indipenden dan konsisten dengan posisinya sebagai ulama.
Beliau tidak pernah dan memang tidak sudi menggunakan alat kekuasaan sebagai
kendaraan dakwahnya.
Maka tidak berlebihan jika beliau mendapat prototype
sebagai wali sejati, wali dalam pengertian “kekasih Allah” di dunia, bukan wali
dengan arti penguasa setempat sebagaimana mispersepsi sebagian pemerhati
sejarah (yang mungkin juga tidak mengakui adanya wali Allah yang lain). Karena
kalau kita merunut sejarah, maka akan menghasilkan sebuah hipotesa sebagaimana
di atas. Terbukti, beliau, sekali lagi, tidak mau menggunakan kendaraan
kekuasaan sebagai piranti memuluskan dakwahnya.
Ala kulli hal, metode dakwah Sunan Ampel melengkapi
strategi dakwah walisongo secara umum, untuk menjadi satu kesatuan yang nyaris
sempurna guna memuluskan misi mulia yang mereka emban: menyebarkan risalah
Islam di tanah jawa. Dan, karena jasa-jasa mulianya inilah, ribuan atau bahkan
jutaan doa senantiasa mengalir, setiap saat, di setiap denyut doa umat Islam,
hingga dunia enggan meneruskan sejarahnya.
F.
MAKAM
SUNAN AMPEL
Sunan Ampel Wafat di Surabaya, tahun 1425 M. Makamnya terletak di daerah
Ampel Denta, Kota Surabaya, Jawa Timur, Indonesia.
0 komentar:
Post a Comment