ARTIKEL
MUROBAHAH
DALAM FIQIH MU’AMALAH DAN PERBANKAN SYARI’AH
Disusun Oleh:
Dian Prasetyo 1320310118
Dian Prasetyo 1320310118
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN SYARIAH / MBS
- Pengertian
Murobahah dalam Fiqih Mu’amalah dan Perbankan syari’ah
Murobahah
berasal dari kata ribhu yang artinya keuntungan. Murobahah adalah transaksi
jual barang dengan tambahan harta atau cost plus atas dasar harga pembelian
yang pertama secara jujur dan transparan. Artinya penjual menyebutkan harga
pembelian pertama kepada calon pembeli dan di tambah dengan
keuntungan-keuntungan secara terbuka didepan pembeli.[1]
Sedangkan
dalam buku Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan yang di karang oleh Adiwarman Karim
mengatakan, Murobahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga
perolehan dan keuntungan (marginal) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.
Akad ini merupakan salah satu bentuk natural certainty contracts,
karena dalam murobahah ditentukan berapa required rate of profit-nya
(keuntungan yang ingin diperoleh).[2]
Karena dalam definisinya disebut
adanya “ keuntungan yang disepakati”, karakteristik murobahah adalah si penjual
harus memberi tahu pembeli tentang haraga pembelian barang dan menyatakan
jumlah keuntungan yang ditambhakan pada biaya tersebut.[3]
a.
Murobahah dalam fiqih
Ada
tiga pihak, A, B,C dalam suatu penjualan murobahah. A meminta B untuk membeli
beberapa barang untuk A. B tidak memiliki barang-barang dimaksud tetapai ia
berjanji untuk memebelikannya dari pihak ketiga, yaitu C. B adalah perantara,
dan kontrak murobahah adalah anatar A dan B. Kontrak murobahah didefinisikan
sebagai “penjualan suatu komoditas dengan harga yang si penjual (B) telah
membelinya dengan harga asli, ditambah dengan sekian laba yang diketahui oleh
sipenjual (B) dan si pembeli (A)”. Udovitch menyatakan bahwa murobahah adalah
suatu bentuk jual beli dengan komisi, dimana si pembeli biasanya tidak dapat
memperoleh barang yang dia inginkan kecuali lewat seorang perantara, atau
ketika si pembeli tidak mau susah-susah mendapatkannya sendiri, sehingga ia
mencari jasa seorang perantara.
b.
Murobahah dalam perbankan Islam
Bank-bank
islam umumnya mengadopsi murobahah untuk memberikan pembiayaan jangka pendek
kepada para nasabah guna pembelian barang meskipun mungkin si nasabah tidak
memiliki uang untuk membayar. Murobahah, sebagaimana yang digunakan dalam
perbankan Islam, prinsipnya didasarkan pada dua elemen pokok: Harga beli serta
biaya yang terkait, dan kesepakatan atas mark-up (laba). Ciri dasar kontrak
murobahah (sebagai jual beli dengan pembayaran tunda).[4]
- Syarat
dan rukun ba’i al-Murobahah
Bai’
al-Murobahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan
yang disepakati.
Adapun
syarat bai’ al-murobahah ialah:
a.
Penjual memberi tahu biaya modal kepada
nasabah
b.
Kontrak pertama harus sah sesuai dengan
rukun yang di tetapkan
c.
Kontrak harus bebas dari riba
d.
Penjual harus menjelaskan kepada pembeli
bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian.
e.
Penjual harus menyampaikan semua hal
yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara
utang.
Secara
prinsip jika syarat dalam (a), (d) ,atau (e) tidak dipenuhi, pembeli memiliki
pilihan:
a.
Melakukan pembelian seperti apa adanya,
b.
Kembali kepada penjual dan menyatakan
ketidak setujuan atas barang yang dijual,
c.
Membatalkan kontrak.[5]
- Manfaat
dan Resiko Murobahan
Adapun
manfaat bai’ al-murobahah ialah:
- Adanya
keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga
jual kepada nasabah
- Sistem
bai’ al-murobahah juga sangat sederhana, jadi memudahkan penanganan
administrasinya di bank syari’ah.
Di
antara kemungkinan resiko yang harus diantisipasi antara lain sebagai berikut:
a.
Default, atau kelalaian: nasabah sengaja
tidak membayar angsuran
b.
Fluktuasi haraga komparatif. Ini terjadi
bila harga suatu barang di pasar naik setelah bank membelikannya untuk nasabah.
Bank tidak bisa mengubah harga jual beli tersebut.
c.
Penolakan nasabah, penolakan nasabah
oleh karena berbagai sebab yaitu: bisa karena rusak dalam perjalanan sehingga
nasabah tidak mau menerimanya. Karena itu, sebaiknya dilindungi dengan
asuransi, kemungkinan lain karena nasabah merasa spesifikasi barang tersebut
berbeda dengan yang ia pesan.
d.
Dijual, karena bersifat jual beli karena
utang, maka ketika kontrak ditanda tangani, barang itu menjadi milik nasabah.
Nasabah bebas melakukan apapun terhadap aset miliknya, termasuk untuk
menjualnya. Jika terjadi demikian, resiko iuntuk default akan besar.[6]
[1]
Mudzier Suparta, Pendidikan Agama Islam Fikih,Semarang:PT. Karya Toha
Putra,2009,hlm.115
[2]
Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan,Edisi pertama,
Jakarta:IIIT Indonesia,2003,hlm.161
[3]
Adiwarman Karim,Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi
kedua,Jakarta:RajaGrafindo Persada,2004, hlm.103
[4]
Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum
Neo-Revivalis,Jakarta:Paramadina, 2004,hlm.118-120
[5]
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari teori ke Praktik, Jakarta:Gema
Insani, 2001,hlm. 101-102
[6]
Muhammad Syafi’i, hlm.106-107
0 komentar:
Post a Comment