Blog yang diperuntukan untuk anak kuliah, terutama Mahasiswa Manajemen dan Ekonomi Syariah

Saturday 6 May 2017

Posted by Dian Prasetyo in | 09:10:00 1 comment
PAJAK PENGHASILAN
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah      : Perpajakan
Dosen Pengampu  : Danang Kurniawan,S.E.,M.M.
Kelas    : ESRB – 6






Disusun Oleh:
Kelompok 5
Ahmad Khoirul Umam           (1320210049)
Nailun Nahdliyah                    (1320210050)
Faridatus Sholikhah                 (1320210051)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS (STAIN)
JURUSAN SYARIAH / EKONOMI ISLAM
2016




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sumber penerimaan Negara dari sector pajak banyak macamnya. Salah satunya adalah pajak penghasilan. Pajak penghasilan merupakan pajak yang dipungut kepada obyek pajak atas penghasilan yang diperolehnya. Dalam rangka menyukseskan pembangunan nasional, peranan penerimaan pajak sangat penting dan mempunyai kedudukan yang setrategis. Karena tidak mungkin pemerintah dapat menggerakkan roda pemerintahan dan pembangunan nasional tanpa adanya dukungan dana, terutama yang bersumber dari penerimaan pajak, yang salah satu sumber penerimaannya itu berasal dari pajak penghasilan.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai pengertian dari pajak penghasilan, subyek pajak penghasilan, obyek pajak penghasilan, tarif pajak penghasilan, dasar hukum pajak penghasilan dan cara penghitungan pajak penghasilan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian pajak penghasilan?
2.      Siapa sajakah yang merupakan subyek pajak penghasilan?
3.       Apa sajakah yang merupakan obyek pajak penghasilan?
4.      Berapakah tarif pajak penghasilan?
5.      Bagaimana dasar hukum pajak penghasilan serca cara menghitung pajak penghasilan?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pajak Penghasilan
Pajak penghasilan (PPh) pasal 21 adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan seperti yang dinyatakan dalam pasar 21 UU Pajak Penghasilan.[1]
Sedangkan pengertian lain dari pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak.[2]

B.     Subjek Pajak Penghasilan
Pajak penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam Tahun Pajak. yang menjadi Subjek Pajak adalah:[3]
1.      a. orang pribadi
b.      warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak
2.      Badan, terdiri dari PT, CV, perseroan lainnya, BUMN/BUMD, firma, kongsi, koperasi, dan lain-lain.
3.      Bentuk Usaha Tetap
BUT adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa: tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, pertambangan dan penggalian sumber alam serta perikanan, peternakan, pertanian dan lain-lain.
Subjek pajak dapat dibedakan pula atas:
a.       Subjek Pajak dalam negeri
b.      Subjek pajak luar negeri

Tidak termasuk Subjek Pajak
Tidak termasuk Subjek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah:[4]
1.      Badan perwakilan Negara asing
2.      Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsultan atau pejabat-pejabat lain dari Negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
3.      Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

C.    Objek Pajak Penghasilan
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun[5]
Penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh pasal 21 adalah:
1.      Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi dan lain-lain.
2.      Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan
3.      Laba usaha
4.      Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta termasuk
a.       Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal
b.      Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota
c.       Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau pengambilalihan usaha, keuntungan, dan lain-lain.

Tidak Termasuk Objek Pajak Penghasilan
Yang tidak termasuk obyek pajak penghasilan antara lain:
1.      Bantuan atau sumbangan termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia;
2.      Harta hibah yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
3.      Warisan;
4.      Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
5.      Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU PPh;
6.      Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi beasiswa, dan lain-lain[6]

D.    Tarif Pajak Penghasilan
Tarif pajak penghasilan yang berlaku di Indonesia di kelompokkan menjadi dua yaitu tarif umum sesuai Pasal 17 UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, dan tarif khusus.
Dan system penerapan tarif Pajak Penghasilan sesuai dengan Pasal 17 UU PPh dibagi menjadi dua yaitu:[7]

1.      Tarif Pajak Penghasilan untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yaitu:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 25.000.000,00
5%
Di atas Rp 25.000.000,00 s/d Rp50.000.000,00
10%
Di atas Rp 50.000.000,00 s/d Rp 100.000.000,00
15%
Di atas Rp 100.000.000,00 s/d 200.000.000,00
25%
Di atas Rp 200.000.000,00
35%
2.      Tarif Pajak Penghasilan untuk Wajib Pajak badan dalam negeri  dan bentuk usaha tetap, yaitu:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,00
10%
Di atas Rp 50.000.000,00 s/d 100.000.000,00
15%
Di atas Rp 100.000.000,00
30%

E.     Dasar Hukum Pajak Penghasilan dan Cara Menghitung Pajak Penghasilan
Dasar hukum pajak penghasilan adalah Undang-undang no.7 Tahun 1984 tentang Pajak Penghasilan (PPh) yang berlaku sejak 1 januari 1984. Undang-undang ini telah beberapa kali mengalami perubahan dan terakhir kali diubah dengan Undang-undang Nomer 36 Tahun 2008.
Untuk dapat menghitung PPh, terlebih dahulu harus diketahui dasar pengenaan pajaknya. Untuk Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah Penghasilan kena pajak. Sedangkan untuk Wajib Pajak luar negeri adalah penghasilan bruto.
Besarnya penghasilan Kena Pajak untuk Wajib pajak badan dihitung sebesar penghasilan netto. Sedangkan untuk Wajib Pajak orang pribadi dihitung sebesar penghasilan netto dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Secara singkat dapat dirumuskan:
Penghasilan Kena Pajak (WP Badan) = penghasilan netto
Penghasilan Kena Pajak (WP orang pribadi) = penghasilan-PTKP

Cara menghitung Penghasilan Kena Pajak
Penghitungan besarnya penghasilan Netto bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1.      Menggunakan pembukuan
Pembukuan adalah suatu proses pencacatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan, dan biaya, serta jumlah harta perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap Tahun Pajak berakhir.
Untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak dapat dapat dirumuskan sebagai berikut:

Penghasilan Kena Pajak (WP Orang Pribadi)
= penghasilan netto – PTKP
= (Penghasilan bruto- Biaya yang diperkenankan UU PPh) – PTKP

Penghasilan Kena Pajak (WP badan)
= Penghasilan netto
Penghasilan bruto- Biaya yang diperkenankan UU Ph
Contoh penghasilan kena pajak WP orang pribadi:[8]
Peredaran bruto                                                     Rp 650.000.000,00    
Biaya untuk mendapatkan, menagih,                   
 dan memelihara penghasilan                                Rp 420.000.000,00 (-)
Laba usaha (penghasilan neto usaha)                 = Rp 225.000.000,00
Penghasilan lainnya                                               Rp 10.000.000,00 (+)             
Biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara Penghasilan                                 Rp 6.000.000,00 (-)
Penghasilan neto                                                 = Rp 229.000.000,00
PTKP(K/2):
Diri WP                       Rp 2.880.000,00
Tambahan kawin         Rp 1.440.000,00
Tanggungan 2             Rp 2.880.000,00 (+)
                                                                        Rp. 7.200.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak                               = Rp 221.800.000,00
2.      Menggunakan Norma Penghitungan
Norma Penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur Jendral Pajak dan disempurnakan terus menerus.[9]
Wajib pajak yang boleh menggunakan Norma Penghitungan adalah Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi syarat sebagai berikut:
a.       Peredaran bruto kurang dari Rp.600.000.000,00 per tahun.
b.      Mengajukan permohonan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun buku
c.       Menyelnggarakan pencatatan
Berikut ini contoh penghitungan pajak yang terutang dengan menggunakan
Contoh Norma Penghitungan Penghasilan Netto
Wajib Pajak Anto kawin (istri tidak bekerja) dan mempunyai 3 orang anak. Ia seorang dokter bertempat tinggal di Jakarta yang juga memiliki industry rotan di Cirebon. Misalnya besarnya persentase norma untuk industry rotan di Cirebon 12,5% dan dokter di Jakarta 40%
Peredaran usaha dari industry rotan di Cirebon setahun              Rp 400.000.000,00
Penerimaan bruto seorang dokter di Jakarta setahun                    Rp 75.000.000,00
Penghasilan netto dihitung sebagai berikut:
Dari industry rotan: 12% x Rp 400.000.000,00                       =  Rp 50.000.000,00
Sebagai seorang dokter: 40% x Rp 75.000.000,00                  =  Rp 30.000.000,00(+)
Jumlah penghasilan netto                                                         = Rp 80.000.000,00
Penghasilan Tidak Kena Pajak                                                 = Rp 8.640.000,00 (-)
Penghasilan kena pajak                                                                 = Rp 71.360.000,00



BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak.
Subyek pajak penghasilan meliputi:1. a. rang pribadi ,b. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, 2. Badan, terdiri dari PT, CV, perseroan lainnya, BUMN/BUMD, firma, kongsi, koperasi, dan lain-lain, 3. Bentuk Usaha Tetap. Dan bukan subjek pajak meliputi: Badan perwakilan Negara asing, pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsultan atau pejabat-pejabat lain dari Negara asing, dan pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan.
Obyek pajak penghasilan meliputi: Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur, Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan, laba usaha, dan lain-lain. Sedangkan yang tidak termasuk obyek pajak penghasilan adalah bantuan atau sumbangan, harta hibah, warisan, dan lain-lain.

Tarif Pajak Penghasilan dibedakan menjadi dua yaitu tarif Pajak Penghasilan untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dan tarif Pajak Penghasilan  dan untuk Wajib Pajak badan dalam negeri  dan bentuk usaha tetap.
Dasar hukum pajak penghasilan adalah Undang-undang no.7 Tahun 1984 tentang Pajak Penghasilan (PPh) yang berlaku sejak 1 januari 1984. Dan adapun cara penghitungan dalam Pajak Penghasilan di bagi menjadi dua cara yaitu menggunakan pembukuan dan menggunakan norma penghitungan.



Daftar Pustaka
Mardiasmo,Perpajakan,edisi 6,Yogyakarta:Andi,1998
Mardiasmo,Perpajakan,edisi revisi,Yogyakarta:Andi,2003
Pandiangan Liberty,Pemahaman Praktis Undang-undang Perpajakan Indonesia,Jakarta:Erlangga,2002
Resmi Siti,Perpajakan Teori dan Kasus,Jakarta:salemba empat,2003
Http://www.pajak.go.id/content/seri-pph-objek-pajak-penghasilan dikutip tanggal 20 Maret 2016 pukul 13.15 WIB



[1] Mardiasmo,Perpajakan, edisi 6,Yogyakarta:Andi,1998,hlm.87
[2] Siti resmi,Perpajakan Teori dan Kasus,Jakarta:salemba empat,2003,hlm.74
[3] Mardiasmo,Perpajakan,edisi revisi,Yogyakarta:Andi,2003,hlm.105-106
[4] Liberty Pandiangan,Pemahaman Praktis Undang-undang Perpajakan Indonesia,Jakarta:Erlangga,2002,,hlm.166
[5] Ibid,hlm.167
[6] Http://www.pajak.go.id/content/seri-pph-objek-pajak-penghasilan dikutip tanggal 20 Maret 2016 pukul 13.15 WIB
[7] Siti Resmi,Op.Cit,hlm.108
[8] Ibid,hlm.111
[9] Liberty Pandiangan,Op.Cit,hlm.215

1 comment:

  1. Melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan merupakan salah satu kewajiban pajak yang harus dijalankan oleh wajib pajak dalam rangka memberikan tanggung jawab penerapan self assesment yang dijalankan selama satu tahun pajak. Ketika sudah melaporkan SPT, wajib pajak akan mendapatkan pemberitahuan tentang bagaimana status SPT Tahunan tersebut, apakah muncul status lebih bayar, kurang bayar, ataupun nihil.
    Pada pembahasan kali ini akan dibahas mengenai apa saja perbedaan mendasar PPh Kurang Bayar dan Lebih bayar serta bagaimana perlakuan perpajakan yang berlaku. Selengkapnya di https://www.krishandsoftware.com/blog/1154/perlakuan-perpajakan-untuk-pph-kurang-bayar-dan-lebih-bayar/

    ReplyDelete

Search

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter